MOVIE OF THE MONTH: A Man Called Otto
Taken from Lembaga Sensor Film Indonesia https://lsf.go.id/movie/a-man-called-otto/ |
Sisi humanis film ini dibangun dengan apik dan terasa sampe ulu hati. Gimana enggak, Bapak Otto di usia pensiunnya ternyata lagi nyiapin diri buat bunuh diri. Persiapannya udah mateng. Sebagai orang yang teknik banget (he loves mechanics, graduated as a bachelor of Mechanical Engineering) dia udah ngukur presisi tali yang dia butuhkan buat gantung diri, udah nelponin jasa utilities buat mutus listrik, gas, air, telepon. Tapi, segala usaha bunuh dirinya berakhir gagal karena keluarga Marisol yang saat itu sedang hamil besar, kerap mengetuk pintu rumah Pak Otto untuk segala macam urusan layaknya tetangga pada umumnya, berbagi makanan, pinjam obeng, pinjam tangga, bahkan titip anak.
Filmnya sendiri dibuat ada kilas balik menceritakan lika-liku kehidupan Pak Otto yang Jerman banget, yang kemudian luluh sejak pertama kali ketemu Sonya saat muda. Karakter Otto yang begitu kaku, dibangun apik bagaimana perubahan sosialisasinya dengan orang-orang di sekitarnya hingga akhirnya dia menjadi orang penggerutu sebagai topeng kesepiannya. Sampai ada yang menggambarkan Otto begini, "People said Otto saw the world in black and white. But she was color. All the color he had." Sebegitunya Sonya untuk Otto, dan betapa hilang separuh nyawanya saat Sonya meninggal dunia.
Kisahnya menyajikan berbagai emosi mulai dari tawa hingga tangis, dan menyoroti pentingnya saling menghargai dan menghormati orang lain. Acting setiap karakternya pas, mampu meragakan kekuatan persahabatan, kebaikan, dan pentingnya memiliki tujuan hidup. Film ini sendiri diadaptasi dari sebuah novel yang ditulis Fredrik Backman berjudul A Man Called Ove (Seorang Pria yang Disebut Ove). Dia berhasil menciptakan karakter yang unik dan mendalam, serta memberikan pelajaran tentang cinta, kehilangan, dan kebahagiaan dalam hidup yang sederhana namun penuh makna.
Yang paling aku suka adalah bagian paling akhir, mungkin 10 menit terakhir dimana pada akhirnya Otto membuka diri, Marisol dan keluarganya menganggap Otto menjadi kakek bagi anak-anaknya, semuanya tergambar dari cuplikan foto-foto liburan yang dihabisakan Otto bersama mereka. Itu scene yang paling hangat sekaligus mengiris dengan ketebalan yang tepat.
Sejujurnya, personally speaking, film ini ga cocok untuk orang yang sedang kesepian ataupun dalam fase depresi. Se-emosional itu soalnya (I wish I could elaborate it more clearly). It might drive some triggers.
Anyway,
"Love is a strange thing. It takes you by surprise."-Fredrik Backman, A man called Ove
Comments
Post a Comment
Free to speak up is still under circumstances, no violence