Konspirasi
Jika Mestakung itu ada, lalu mengapa semesta tak membuatku bisa memilikimu?
Bagian 1
Jam digitalku menunjukkan angka 00:01. Aku baru
saja mengirimkan hasil kerjaku melalui email dan menutup layarnya. Kupandangi jendela
berharap aku melihat sesuatu yang lain disana. Tak ada. Gelap. Langit polos
tanpa bintang. Malam di kota asing ini mengingatkanku padamu, ya kamu! Kamu
yang tak pernah membuatku menangis. Aku merindukanmu.
Tiga belas menit aku menatap kosong jendela itu. Sial.
Tiga belas menit tanpa pekerjaan yang membuatku kembali mengingatmu. Seharusnya
aku pergi tidur saja agar tak perlu merasakan kegalauan ini. Tapi tak bisa. Aku
sudah terlanjur terjebak dalam momen kenangan.
Melewatkan 10.540.800 detik, 175.680 menit, 2.928
jam tanpamu. Aku mungkin menjadi hiperbola jika membahas ini. Baru 122 hari
kita terpisahkan jarak. Malam ini genap 4 bulan kau tak lagi di dekatku. Jauh
dari jangkauanku. Tapi kau tak pernah sekalipun keluar dari hatiku.
Bagaimana kabarmu?
Pertanyaan klise yang selalu menjadi pertanyaan
favoritmu juga. Lucunya kita selalu sehat. Seperti janji yang kita buat sebelum
kau pergi, berjanji untuk tidak jatuh sakit. Alasannya karena tak akan lagi ada
aku yang membawakanmu bubur dan tak ada lagi ada kamu yang membawaku ke klinik.
Jarak yang membentang diantara kita sungguh membuat
hubungan kita bertambah rumit. Sejak awal kita terlalu dekat untuk sekedar
menjadi sahabat namun tak pernah ada pernyataan apapun untuk kedekatan itu. Hingga
akhirnya perbedaan waktu 4 jam diantara kita membuat semuanya nampak aneh. Aku menerima
ucapan selamat pagi darimu saat aku masih bermimpi dan kau mendapatkan ucapan
selamat pagiku dikala kau santap makan siangmu.
Ah, aku engan berkonflik dengan rasa kalut
yang menyiksa. Jika sejak awal kita tidak akan bersama, bahkan dipisahkan jarak yang
begitu nyata, mengapa harus terjebak pada perasaan yang tak kasat mata? Aku tak
mau perasaan ini berkembang jika tak akan pernah berbunga. Tapi
siapa yang punya kuasa atas rasa? Tak ada.
Sempat ku berfikir, aku akan pergi menyusulmu
kesana. Berubah menjadi wanita perkasa yang akui bahwa aku cinta.
Tapi tidak.
Aku tak bisa.
Itu bukan bagian wanita.
Jadi biarkan saja semua berjalan apa adanya.
Comments
Post a Comment
Free to speak up is still under circumstances, no violence