Konspirasi
Bersambung dari Bagian 1
Jika Mestakung itu ada, lalu mengapa semesta tak membuatku bisa memilikimu?
Bagian
2
Aku terbangun dikala mentari beranjak dari balik
gedung-gedung pencakar langit. Sinarnya menggelitik kulitku karena dengan mudah
menembus gorden tipis berwarna putih. Sinarnya menyilaukan, memaksaku untuk
segera beranjak, pindah dari tempat tidurku. Biasanya aku akan berjalan kearah jendela,
membuka tirai membiarkan cahaya memenuhi ruanganku, lalu untuk sekedar menatap keindahan
pagi, aku menatap cahaya jingga seperti bunga matahari yang menghadap sang
surya. Tapi kali ini, aku mangkir dari mengaguminya. Sejak semalam aku tak henti
memikirkan’-nya’. Aku harus menyibukkan diri. Segera mandi lalu pergi menghadapi
rutinitas yang sama setiap hari.
Jam di
lenganku menunjukan pukul 8.45. Aku tak bisa berlama-lama lagi duduk di
coffee shop ini, Aku hanya punya waktu 30 menit untuk bisa mencapai kantor
dengan menggunakan taksi. Aku menyampirkan tas di bahu kanan. Membawa buku
agendaku dengan tangan kiri dan membawa ‘frappucino’
di tangan kanan agar aku bisa meminumnya sambil berjalan.
Aku sempat terpukau saat berada di luar. Saat aku
melepaskan sun glasses, aku baru menyadari langit begitu cerah. Berwarna biru
terang, dengan awan putih tipis yang sepertinya engan sekali bergerak. Mungkin karena
pagi ini aku tak sempat untuk menatap matahari pagi dan aku tak kuasa menutupi
fakta bahwa aku adalah seorang pengagum pagi. Bagiku pagi adalah sebuah
kesempatan untuk menggapai semua mimpi. Pagiku selalu ditemani segelas kopi. Kebiasaan
‘Dia’ yang sekarang menjadi kebiasaanku hanya karena itu menjadi penawar rindu.
Ah, lagi-lagi aku membahas dia.
Dan aku seolah melihatnya berada dalam kerumunan
orang mengantri di halte angkutan kota.
Hahaha, aku sudah gila.
“Tiara ....”
Aku mendengar suaranya, lalu aku melihatnya berdiri
menatapku ditengah kerumunan.
Aku terhenyak, ini bukan hayalan belaka.
Jika aku selalu mempertanyakan mestakung, aku mulai
percaya konspirasi semesta itu ada.
TAMAT
Comments
Post a Comment
Free to speak up is still under circumstances, no violence