Sore Lain Bersama Shifa

Aku menatapnya pergi. I always hate this. Everytime he leaves me, i feel so lonely. Double hate it.

Tapi pertanyaan-pertanyaan Shifa, balita yang tinggal tak jauh dari tempat tinggalku, sungguh buat aku bersemangat dengan baby yang tumbuh di dalam perutku. Nyatanya disedang menatapku ketika aku mengantar kepergian S. Mungkin baby ku akan menatap kami dengan cara yang sama dengab Shifa lakukan tadi.

"Kenapa teman kamu pergi?"

"Dia harus bekerja, Shifa" jawabku sambil menghampiri dia yang bersembunyi diantara etalase dan show case pendingin minuman.

"Oh, supaya dapat uang?"

Aku mengangguk membenarkan.

"Supaya kamu bisa jajan?"

Aku mengangguk sekali lagi. Sambil menahan tawa.

"Kamu ga jajan hari ini, kemarin juga, soalnya ga punya uang!" Tegasnya dengan mata membulat. Dia sungguh mirip Agnes mungil anak adopsi Gru. "Kenapa ga minta uang sama papa?"

"Papa aku jauh, dia ga bisa kasih uang"

"Kenapa?"

"Dia ga tinggal disini"

"Kenapa?"

"Rumah dia ga disini"

"Kenapa?"

"Dia bikin rumah di kampung"

"Rumah Uti juga di kampung"

"Kampung kan jauh"

"Harus naik pesawat kalo mau ke kampung"

...

Kami terus bercakap-cakap membicarakan uang jajan, kampung, ricky (anak lain yang seumur dengannya), sop buah, dll. Aku rasa ketidakberadaan S tidak terlalu buruk jika aku punya teman berbincang seperti ini.

Comments

Popular Posts