Dua Hati, Satu Cerita

Sejak pertama kali bertemu, aku tak bisa menahan diri untuk mengalihkan pandanganku darinya. Tawa yang renyah, celetukan yang segar dan adu argumen yang pintar berhasil menarik perhatianku. Akhirnya, duduk terdiam di pojokan kantin, memandangi dirinya dari kejauhan, menjadi rutinitasku.

Ada banyak wanita yang mengelilinginya. Sesekali mereka mencuri-curi kesempatan untuk sekedar bersinggungan badan, menyentuh kulitnya, melakukan high-five dengannya. Satu-dua dari mereka meneguk minuman miliknya dengan sebuah kepercayaan bahwa itu adalah bentuk ciuman tidak langsung, seperti komik-komik Jepang ajarkan pada mereka saat mereka belia. Sedangkan aku, masih bertahan dengan duduk diam menatap sosoknya dari jarak yang tak bisa dibilang dekat. Aku sendiri tak pernah benar-benar bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Hanya gelak tawa keras yang aku dengar dari jarak sejauh ini. Tapi tidak masalah bagiku, karena semua tentangnya sudah aku ketahui. Menatapnya dari sini sudah cukup memuaskanku.

Terbesit keinginan untuk menghampirinya, mengobrol dengannya. Toh aku tahu musik favorit yang memenuhi memori ponsel pintarnya. Aku bisa mulai dengan berpura menyukai jenis musik yang sama dengan dirinya. Mengawali percakapan tentang betapa jeniusnya musik itu dalam mencampur-adukkan perasaan saat mendengarnya. Tapi lalu apa? Apa yang akan aku dapatkan?

Katakanlah bahwa aku manusia kurang kerjaan yang betah memandanginya dari kejauhan. Ya, aku dedikasikan 15 menit sehari, 75 menit seminggu, hampir 300 menit sebulan, memandanginya saat istirahat jam makan siang, satu-satunya waktu yang aku punya untuk memuaskan hasrat yang entah muncul dari mana.

5 bulan.

Sudah aku habiskan 5 x 300 menit yang aku punya untuk menatapnya dari jarak sejauh ini. Kali ini, dengan jadwal kuliah yang baru, aku kehilangan kesempatan menatapnya lagi. Seperti ada yang kurang.  Tapi aku anggap ini adalah momen paling baik untuk melepaskan diri dari candu tak berguna ini.

***

Aku menemukan gadis yang menarik perhatianku  duduk sendirian di pojok ruangan. Entah apa yang dia lakukan. Yang aku tahu, dia akan duduk disana, selama 15 menit setiap hari saat istirahat makan siang. Sekali-dua kali tak sengaja aku melihatnya duduk di tempat yang sama, dan ketiga kalinya, aku datang lebih dulu hanya untuk memastikan bahwa duduk disana di jam makan siang adalah rutinitasnya yang kemudian menjadi rutinitasku selama semester ini. Meskipun harus aku akui, dari jarak sejauh ini,  aku tak pernah tahu apa sedang dia lihat karena setiap kali aku mencuri-curi untuk melihatnya, dia seolah sedang menatap jauh, bergumul sendiri dengen pikirannya. Aku senang menghabiskan 15 menit setiap harinya meski hanya untuk melihat dia. Entah kenapa, aku merasa hal seperti ini saja sudah buat aku bahagia.

Aku tak peduli dengan apa yang teman-temanku ocehkan. Kami biasa membicarakan yang sama, yang itu-itu saja. Tapi mencuri-curi pandang untuk melihatnya selalu membuatku tambah penasaran kepadanya. Kadang aku melihatnya begitu tenang, kadang melihatnya seperti sedang merasa senang, kadang dia terlihat kesal. Ada banyak ekspresi yang bisa terpampang di wajahnya. Terkadang terbesit pertanyaan, apa rasanya jika aku tau apa isi kepalanya?

Dia suka memesan es timun. Aku tak pernah tau apa rasanya sampai akhirnya aku pun membelinya. Rasanya aneh, sepertinya aku mencampurkan getah timun kedalam sirup leci. Aku biarkan teman-temanku yang menghabiskannya. Tapi aku tetap saja memesan minuman ini, setidaknya jika aku punya kesempatan untuk makan berdua dengannya, aku mungkin akan memesan dua gelas es timun dan kita akan mudah bercakap-cakap. Mungkin, yaa, hanya mungkin. Karena pada kenyataannya aku hanya bisa mencuri-curi pandang melihatnya, tak pernah berani mendekatinya atau bahkan mengajaknya makan berdua.

Lalu, ketika semester ini berakhir, aku dan jadwal kuliahku yang baru membuat aku tak lagi bisa melihatnya gadis 15 menitku. Pernah suatu hari, aku berlari, memaksakan diri pergi kesana, hanya untuk menatap sebentar dirinya. Tapi dia tak ada, tak pernah lagi duduk di mejanya. Penyesalanku satu, seharusnya aku berani menyapanya dan meminta nomor teleponnya, ya, andai saja aku berani mendatanginya.

***

Aku berjalan secepat mungkin untuk menemui teman-temanku. Bukan karena masalah darurat, hanya saja makan-makan gratis adalah sesuatu yang tidak patut dilewatkan. Setelah melewati koridor kelas, menyebrangi lapangan basket, dan melewati pagar tanaman di parkiran, aku akhirnya kembali ke tempat yang tiga bulan lalu menjadi tempat favoritku. Kantin ini masih saja menyimpan daya magisnya. Dalam sedetik tak sadar aku menatap kursi yang biasa diduduki gadisku. Ha, apa pula 'gadisku', bahkan untuk sekedar namanya aku tidak tahu.

Ledakan tawa menyadarkanku. Teman-teman sudah menjajah meja panjang untuk makan-makan kali ini.  Tapi ada beberapa punggung asing yang tidak kukenali, dan saat kudekati, aku menyadari sesuatu yang sudah lama hilang tiba-tiba muncul, menggelitiku dengan cara yang tidak biasa. Aku bisa merasakan bahwa jantungku berdebar, mungkinkah dia ---

***

Ini pertama kalinya setelah 92 hari aku tak menginjakan kaki di tempat ini. Ya, aku masih saja mengingatnya, menghitung hari-hari dimana aku tak bisa melihatnya. Sepertinya ketergantunganku sudah berada di tingkat paling parah. Dan kedatanganku ke tempat ini sungguh diluar perkiraanku. Aku mengiyakan ajakan teman untuk merayakan gaji pertamanya sebagai seorang intern. Tak kusangka bahwa kami akan merayakannya di kantin ini. Aku tak bisa mengelak, sebut saja bahwa aku terjebak. Inginku satu, segera meninggalkan tempat ini sebelum aku melihatnya lalu dengan tanpa sadar berlari ke arahnya lalu memeluknya sambil berkata bahwa aku merindukannya. Hahaha, pikiran apa pula ini?

***

Dia menolehkan kepalanya ke arahku ketika teman-temanku menyerukan namaku dengan lantang. Itu DIA. Wajah yang selama ini ingin aku enyahkan dari pikiran muncul di hadapanku dalam jarak rangkulan tangan. Matanya membulat, berbinar menatapku. Bibirnya menahan sebuah senyuman yang tetap saja membuatnya nampak manis.

***

Tiba-tiba teman-temanku menyerukan sebuah nama yang sering aku ukir menggunakan pena. Dia berdiri tak jauh dari tempatku duduk. Butiran keringat membasahi dahinya. Dia sepertinya sedikit terkejut namun tak bisa menyembunyikan rasa senang dari wajahnya. Tawanya yang renyah mengobati rasa rinduku. Aku menahan seringai lebarku dengan susah payah. Setidaknya aku harus bisa menahan diri.

***

Aku duduk tepat di samping gadis-15-menit ku. Menyapanya dengan sebuah 'Hai' untuk pertama kali. Dia membalasnya dengan sebuah senyuman dan gerakan menggeser tubuhnya untuk memberiku ruang yang cukup agar nyaman duduk di sampingnya.

"Aku, Abas," kataku memperkenalkan diri.

"Aku tahu," katanya diikuti sebuah anggukan.

Aku tak menyangka dia tahu namaku. Ada perasaan senang menjalar. Semoga hal itu tidak membuatku tampak bodoh di depannya.

"Taya selalu bertanya tentangmu. Makanya dia tau" cetuk Tyo yang sedari tadi telah memperhatikan tingkah kami berdua.

Celetukan Tyo membuat gadisku gusar. Dia terlihat gelisah salah satu rahasianya terbongkar dalam hitungan detik.

"Berarti sekarang giliranku untuk mencari tahu tentangmu," kataku berusaha melucu yang aslinya menyerukan apa yang aku inginkan.

Dia kembali tersenyum. "Oke, apa yang ingin kamu tahu?"

"Bagaimana jika aku mulai dengan namamu?"

Comments

Popular Posts