Kopi

Kopi adalah sebuah kemewahan bagiku si pemilik lambung yang tak tahan akan senyawa asam  dari serbuk hitam pekat yang beraroma nikmat. Cih, narasi ini terlalu panjang. Tapi benar memang, aku bukan peminum kopi. Kopi arabica,  yang mengandung rendah kafein, tapi tinggi akan acid; kopi robusta, yang mengandung tinggi kafein tapi rendah acid; hazelnut, ...... apapun itu, lambungku tak bersahabat dengan mereka semua, geng cairan hitam yang kekinian menjadi simbol gaya hidup hedonism. Aku mungkin akan menghabiskan lebih dari setengah juta untuk biaya dokter, obat, dan treatment atas kopi seharga 42 ribu ukuran medium. Mewah bukan?

Kau yang baca tulisan ini bisa langsung mengenaliku sebagai subjek dari sebuah cerita di blog penuh fiksi saat aku duduk di coffee shop bersama 2-3 teman dengan wajah cemberut karena iri pada kawan-kawannya yang asik menyeruput kopinya. E bilang, wajahku lebih mirip rubah saat kami berkumpul di warung kopi. Lain hal nya dengan M yang berpendapat bahwa aku lebih menyerupai wajah ahli nutrisi yang sedang memberikan konsultasi gizi kepada pasiennya.

Tapi aku tidak sedang di warung kopi atau sedang menatap iri sahabat-sahabatku dengan gelas-gelas berisi kopi itu. 10 detik yang lalu aku baru saja terbangun oleh bau kopi tubruk yang khas menggelitik indra penciumanku. Dengan posisi tubuhku yang miring ke kanan, aku melihat seorang pria duduk di sofa menghadap layar televisi yang menyiarkan acara tausyah pagi hari. Sebentar lagi, berita olah raga pagi akan menggantikan program dakwah yang sudah hampir selesai itu. Kamar sewaan ini tipe studio, sudut-sudutnya disulap agar bisa berfungsi sebagai sebuah hunian, dan kami belum melengkapinya dengan partisi-partisi untuk menegaskan batasan area. Alhasil, kamar tidur, dapur dan ruang keluarga dapat kami lihat hanya dengan menolehkan kepala kami.

Aku bangkit dari tidurku lalu berjalan mendekati pria itu.

"Kamu sudah bangun?"

"Ya... aku ingin dengar berita pac-man pagi ini"

Aku duduk di sebelahnya. Menatap TV yang menyiarkan orang-orang memanjatkan doa dengan khusuk.

"Masih mual?" Tanyanya pelan.

Aku merubah posisi dudukku, menyusun bantal-bantal yang menjadi koleksiku 2 bulan terakhir ini. Menjejalkannya di belakang pinggang untuk mencari pose duduk yang nyaman lalu menghembuskan nafas agak keras. Hamil ternyata sedikit membuatku kesusahan untuk mendapatkan kenyamanan. "Aku tidak merasa mual sekarang. Mungkin karena aroma kopi selalu bisa membuatku tenang"

Dia mengusap-usap perutku dengan satu tangannya sementara tangan lainnya masih memegang gelas. "Hey..." katanya menarik perhatianku.

Aku memandangi dia menyesap kopi hitam nya yang masih mengepul. Menanti kata apa yang akan dia ucapkan setelah membuat aku terfokus padanya. Tiba-tiba dia mengecup bibirku.

"Agar kamu tidak muntah-muntah pagi ini"

Comments

Popular Posts