Surat dari Dewi

Apa kabar kita? Sepertinya sudah lama sekali kita tak bertukar cerita. Terakhir yang aku tahu, kau sedang dilema dengan materi thesis-mu yang tak kunjung selesai. Bagaimana sekarang kelanjutannya, sudah beranjak dari chapter yang sempat kau diskusikan denganku dulu? Ah itu pertanyaan paling bodoh karena aku tak akan pernah mendapatkan jawabannya. Aku sudah tak berani lagi bertanya.  Nyaliku ciut.

Aku ingat saat pertama kali kita jumpa. Tempat kerjamu mengundangku untuk menjadi pembicara. Kamu yang bertanggung jawab atas keberadaanku disana kala itu. Sosok tinggi kurus rambut gondrong menjemputku di bandara. Dengan kaos hitam, celana jeans buluk dan sepatu kets hitam kau menghampiriku, menyapaku,  memastikan bahwa aku adalah orang yang harus kamu jemput.

Tak sepatahkatapun keluar, apalagi obrolan basi untuk sekedar memecah keheningan. Perjalanan saat itu seperti sebuah kutukan. Aku yang ber-ego sebesar gunung bertahan dengan aksi tak mau memulai percakapan lebih dulu. Aku sibuk memakimu dalam hati. Menyibukan diri dengan mengumpat. meneriaki diri sendiri dengan sebutan 'bodoh', yang mau menerima tawaran menjadi pembicara di ibu kota hanya karena merasa jemu menghadapi rutinitas yang itu-itu saja. Aku menyesali keputusan emosionalku. Keputusanku untuk datang memenuhi undangan ke metropol.


Sampai akhirnya aku melihatmu memainkan saxofon. permainanmu sungguh buatku meremang. Aku tak pernah tau jika alat musik itu bisa menghasilkan nada-nada yang luar biasa, merangkai melodi yang bisa menyayat-nyayat hati. Kau membuatku harus merevisi penilaianku atas dirimu. Kau bukan laki-laki berhati dingin. Kau hanya laki-laki misterius yang tak banyak bicara.

Dan kemudian keingintahuanku atas permainanmu melelehkan gunung es egoku. Aku, menyapapu, memulai percakapan denganmu di perjalanan menuju bandara. Aku dapati bahwa kau baru saja patah hati. Gadismu memilih mengencani sahabatmu sendiri. Ya, itu jadi landasan emosi paling masuk akal atas permainan saxophone dengan nada pilu siang tadi.

Sekarang, aku sedang menikmati live music di Kuta. Seorang pria kulit hitam sedang memainkan saxophone. Dia mengingatkanku padamu. Kita pernah menghabiskan malam dengan bertelepon hingga fajar tiba.  Aku ingat sekali, aku menginap di kantor kelurahan saat itu. Hanya disana satu-satunya tempat dengan layanan telpon. Signal handphone? Jangan tanyakan fasilitas itu di sini. Hingga saat ini, daerah itu masih diluar jangkauan kemewahan signal handphone. Kemewahan yang ada disana adalah udara segar dengan pemandangan yang menyejukan. Ah, tapi jangan kau tanya tentang air. Air sudah tak sama seperti dulu. Kami harus berjalan kaki setidaknya 3 km untuk mendapatkannya dan memanggulnya diatas kepala-kepala kami. Malam ini, di hotel ini aku sedang menunggu seseorang yang tertarik membantu desa untuk menyediakan air bersih.

Ah, kembali lagi ke permainan saxophone.  Pria ini memainkan Broken Vow. Lagu Josh Groban yang kita sukai. Ada bagian yang selalu tak bisa kita nyanyikan dengan baik. Kita sepakat bahwa bagian itu sungguh menyakitkan. Kau tahu? performer yang ada di depanku, dia berhasil melewatinya. Aku hampir tak bernafas saat bagian itu dimelodikan dengan apik. Aku semakin memikirkanmu.

Hei, apa kau sudah sembuh dari lukamu?

Lagi-lagi aku bertanya padahal aku tak berani mengungkapkannya. Sudah aku bilang, aku wanita dengan segunung ego. Nyaliku ciut membayangkan jika aku menanyaimu lebih dulu, ternyata kau sudah punya kekasih baru.

Sudahlah, aku menuliskan semua ini pun hanya akan berakhir di kotak sampah.


____________________
Sedari tadi aku hanya menyebutkan kita, dan mungkin kau, pembaca tulisan ini, jadi bingung dibuatnya. Baiklah, biar aku beri gambaran sedikit tentang objek disini. Aku, sebut saja Dewi. Ini tahun kelima-ku tinggal di pedalaman pulau dewata. Aku sedang jenuh terjebak diantara birokrasi pemerintah yang amat lamban dalam menangani kami, masyarakat di pulau dewa yang amat jauh dari jangkauan sektor pariwisata. Saat seorang teman yang bekerja di sebuah stasiun TV nasional mengirimiku undangan untuk menjadi pembicara di talk show nya. Dengan harapan kemunculanku di TV nasional akan meningkatkan proses birokrasi pemerintah atas projek yang sedang aku kerjakan, aku mengiyakan tawarannya.


Lalu dia, seorang PA program talk show yang mengundangku untuk menjadi pembicara. Dia menjemputku karena dia sendiri baru saja pulang dari cutinya. Tak heran kala itu dia terlampau malas memulai percakapan dengaku. Dia selalu tidak suka dengan perjalanan udara. Membuatnya merasa sakit meski tak benar-benar sakit.

Comments

Popular Posts