Balada Malam Minggu: Nikah Muda
Dear pals,
It’s gonna bit little diary, kenapa? Karena aku tergelitik sama
pertanyaan sahabat aku a.k.a mantan
temen sekamar yang di minggu ke 2 pernikahan aku, dia punya beberapa pertanyaan
berbobot yang sayang klo cuma berakhir sebagai obrolan ringan saat makan siang.
Pertanyaan dia adalah GIMANA
RASANYA UDAH MENIKAH?
Aku jawab dengan jawaban paling
normatif sedunia: I am feeling good.
Baik-baik aja. Karena itu faktanya. Bayangin aja aku baru nikah 2 minggu, for god sake! Ngeri sih klo ada
apa-apa padahal usia pernikahan baru 2 minggu.
Dan tentu aja si mantan roommate itu ga terima sama jawaban itu.
Dia minta detail, minta jawaban paling personal yang aku punya.
“Kamu akan nyaranin aku nikah
muda juga?” itu pertanyaan dia selanjutnya karena ga berhasil ngorek jawaban
yang dia mau dari pertanyaan sebelumnya.
Klo udah siap nikah, jawabannya: Marry young, indeed. Kita berdua udah
tau itu.
Aku jadi balik tanya, “Kenapa tanya-tanya
begitu? Apa karena kamu liat kehidupan pernikahan aku ga seperti pernikahan
yang kamu impikan?” Kalian tau jawaban dia apa? “iya”,
for goddamn it was hell yes! (sorry for being
rude here); tapi aku ga marah sama pengakuannya itu, aku malah ketawa
karena that is the funny truth.
Dan here we go, aku mulai cerita seperti yang dia mau.
Aku menikah dengan seseorang
(ternyata) unik. Orang yang tidak banyak bercerita, dia yang isi kepalanya
adalah misteri buat aku (makanya aku suka memegangi kepalanya, berharap dengan
begitu aku bisa tahu tanpa menunggu dia yang bercerita). So far, belum banyak yang aku tahu tentang dia. Kami masih tinggal
secara terpisah, and that’s bad, the
worst to be exact. Secara berkala dia akan tinggal di tempatku, tapi ada
kalanya di malam-malam tertentu kami akan tinggal masing-masing (tentu untuk
alasan paling masuk akal yang kami punya sebagai konsekuensi situasi yang kami
miliki saat ini). Hal ini membuat aku tetap sendiri, pergi sendiri, makan siang
sendiri, makan malam sendiri, seperti seorang yang sendiri. Bagian ini lah yang
paling tidak ideal pada hidup kami saat ini; yang sekaligus jadi highlight si ex-roommate atas pernikahanku.
Si ex-roommate yang tahu semua cerita aku sebenarnya sudah bisa nilai
bahwa aku lebih baik secara habitual setelah menikah dibandingkan saat masih
single, saat jadi teman sekamarnya. Tapi masalahnya, she is good, even better than
me. Dia sudah membiasakan diri menjadi a
real woman, sedangkan aku menjadi a
real woman setelah menikah. Jadi jika aku menyarankan untuk menikah muda
agar dia menjadi wanita yang lebih baik, maka alasan itu adalah alasan paling
mentah buat dia dari aku.
Meski demikian, aku tak
menyayangkan pernikahan ini. Aku mensyukurinya dan menikmatinya lengkap dengan
kekurangannya. Pada dasarnya menikah bukanlah sebuah saran, apalagi menyarankan
menikah diusia muda, tak ada yang seperti itu. MENIKAH adalah sebuah pilihan; menikah
mudapun demikian. Kalau sudah siap, ya menikah! Terlepas dari apa kata agama
(aku tak mau membahas hal yang sudah menjadi pattern), menikah itu butuh
kesiapan, kalau memang membutuhkan waktu lebih lama, manfaatkan waktu itu untuk
mempersiapkannya.
Well, setiap orang punya kesiapan
yang berbeda, ada yang menunggu hingga mapan secara financial, ada yang
menunggu hingga lulus kuliah, ada yang dengan percaya diri menikah meski masih
sekolah. Apapun batasan kesiapan, satu hal yang harus dipikirkan adalah
kesamaan tujuan dari menikah, kenyataan bahwa visi hidup tidak saling
berlawanan, dan proses hidup kedepan yang harus berjalan. Sebagian orang
mungkin merasa ketakutan akan emosi yang dirasa masil labil, dihantui masalah financial
yang dirasa belum stabil, ada masalah keluarga yang buat mereka kembali
berpikir-pikir. Ada yang memilih menyelesaikan semua itu, ada yang memilih
untuk menghadapinya. Pilihan itu kembali ke masing-masing individu, Menikah atau menunda.
Frankly, jika kalian ingin tahu aku tipe yang mana, maka dengan malu-malu aku jawab, aku tipe yang 'hajar', aku hadapi ketakutan itu dalam pernikahan aku. Meski awalnya aku takut dengan komitmen, ada 1 tamparan keras saat seseorang yang dekat sama aku bilang, 'kita berhenti bicarain tentang hati ya', lalu seorang asing bilang, 'sampai kapan kamu akan membuat orang lain menunggu? Menunggu kamu siap, menunggu kamu menghilangkan ketakutanmu'. Maka sejak saat itu doaku berubah, aku minta dipertemukan dengan laki-laki yang baik, dengan cara yang baik, yang mencintai aku, dan bisa membuat aku jatuh cinta, yang dengannya bisa saling surga mensurgakan dan sukses mensukseskan dunia akhirotnya. Lalu violaaaa... datanglah sosok tetangga sebelah rumah yang sudah dewasa, mengajakku menikah, beberapa hari kemudian, aku setuju, beberapa hari kemudian, dia melamar, beberapa hari kemudian kami bertunangan, 3 minggu kemudian kami menikah.
Hanya dalam hitungan hari semuanya bisa terjadi. Hanya 1 kali kami bertemu sebelum melamar, 1 kali bertemu sebelum bertunangan, 1 kali bertemu di persiapan pra-nikah. 3 kali pertemuan yang memantapkan diri bahwa aku siap menjadi seorang pengantin, seorang istri, seorang ibu dari anak-anak nanti, seumur hidup hanya dengan dia.
Stop telling stories, kenapa nikah muda? Regardless religion which says so, pernikahan itu fase hidup yang baru. Dan menikah muda artinya menapaki fase hidup lebih dini in a safe way. Takut dengan 'salah memilih pasangan?' Well, that's another topic that we should talk over deep, but one clue, do you believe in your only pray? Do you believe in you, yourself? The answers really answer the question.
Jadi, nikah muda?
Lakukanlah jika bisa.
Comments
Post a Comment
Free to speak up is still under circumstances, no violence