Take me home


Aku merindukan pria itu. Pria yang dulu terbiasa menjadi pria tangguhku --- cinta pertamaku.

Wangi tubuhnya tak pernah berubah, masih memakai parfum yang sama sejauh yang aku ingat. Wangi aroma kopi tercium seiring hembusan nafasnya. Salah satu favoritku adalah bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahangnya. Dia senang sekali menciumku sedangkan aku merasa geli dengan tusukan-tusukan tajam bulu-bulu itu. Aku senang sekali jika di akhir pekan dia mengajakku pergi jalan-jalan. Terkadang sebatas memancing ikan atau menonton pertandingan bola di lapangan sudah bisa buatku senang. Ah, dia yang pertama kali mengajakku berenang, memamerkan keberanian untuk terjun dari papan lompatan. Di mataku dia sungguh mengagumkan.

Dia selalu menjemputku dari sekolah lebih cepat di Hari Jumat dengan rambut setengah kering juga aroma sabun mandi. Aku tahu kemana dia akan pergi setelah menjemputku. Dia selalu bilang, Hari Jumat itu hari besarnya, jadi dia harus tampil bersih untuk menjalaninya. Bagiku tak masalah, toh dia membelikanku banyak camilan agar aku tak rewel saat menanti dia beribadah meski tak ada teman yang menemani.

Lalu waktu bergulir cepat. Aku rasa pria yang paling mengerti aku telah berubah menjadi pria posesif yang suka mengatur. Dia melarangku untuk bepergian, melarangku untuk bersenang-senang, pendek kata dia selalu melarangku menentukan pilihan. Maka perdebatan itu mulai muncul, pembangkanganku dan pemberontakanku selalu memancing kemarahan yang berbuntut pertengkaran.
Tahun berganti tahun, dan aku memilih meninggalkannya demi egoku meraih mimpi. Aku tahu aku membuatnya patah hati dengan meninggalkannya, tapi dia masih selalu menawarkan diri untuk terus menjemputku, meski yang harus dia lakukan adalah melewati batas provinsi melalui jalan darat yang melelahkan. Ia hanya bilang, itu semua 'untuk putriku tersayang'.

Lalu kini tahun ke-5 ku di kota asing ini aku terjebak di deras hujan dan aku tak bisa pulang. Aku rindukannya yang selalu siaga jika aku membutuhkan sebuah jemputan. Berteduh di warung kopi tepi jalan dan memesan segelas kopi panas mungkin akan obati sedikit kerinduan. Setidaknya aku mencium aroma yang buatku merasa kau selalu ada, tak pernah menghilang. Ayah, tolong jemput aku pulang.

Note:
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari http://t.co/pk32j90nVG di Facebook dan Twitter @nulisbuku

Comments

Popular Posts