Pioggia Nella Capitale

Aku rasa melankolis kali ini hanya karna aku terbawa suasana. Hujan deras di luar sana menjebakku di sebuah kedai kopi, memaksa aku meminum cairan hitam dan pahit yang aromanya mengundang selera. Kabut tipis bergoyang diatasnya, memandakan minuman ini masih terlalu panas. Aku mengurungkan niat untuk mencicipinya. Membiarkannya untuk sedikit lebih dingin.

Tak hanya itu, hujan bagiku tak hanya buatku tertahan di kedai kopi, dia tak hanya ciptakan genangan di atas jalanan, tapi membawa kembali kenangan yang sempat terlupakan. Kenangan bersama dia yang aku temui setengah tahun yang lalu.

Kala itu aku berbagi mejaku untuk dia orang asing yang menghentikan motornya untuk berteduh. Di warung kopi tepi jalan ibu kota memang hanya menyediakan 1 meja yang kami pakai beramai-ramai tanpa merasa terganggu satu sama lain. Ditemani dua cangkir kopi kami berkenalan lalu berbincang layaknya seorang teman. Tak banyak yang kami bicarakan, hanya seputar bagaimana kami bisa terjebak oleh hujan.

Dia pria dengan rambut sebahu, menguncirnya hingga menyerupai ekor kuda. Lengan kemeja putihnya  digulung. Dia menceritakan bahwa aku baru saja mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja. Tak ada guratan sedih di wajahnya. Dengan binar yang tak mungkin aku lupa dia ceritakan mimpinya: memajukan desa terpencil di pulaunya.

Melalui secangkir kopi kami berkenalan, ditemani suara rinai hujan kami bertukar cerita kehidupan.  Saat perpisahan kurasakan detak jantungku tak beraturan. Sepertinya aku telah jatuh cinta padanyaTuhan. Tapi perasaan itu tak pernah aku utarakan. Bagaimana bisa di pertemuan pertama kuungkapkan bahwa hatiku tak inginkan sebuah perpisahan.

Aneh, memang aneh.

Dia orang asing yang memikirkannya selalu bisa buatku merinding. Tak pernah aku temui dirinya setelah pertemuan malam itu. Tak pernah mengharapkan untuk tak sengaja bertemu di kedai kopi lainnya saat hujan turun. Tapi sosok bermantel selutut dengan topi rajut itu buat mataku terpaku pada sosoknya. Sepertinya mata ini menangkap pria yang berperawakan sama dengan dia, ataukah otak ini yang mengharapkan mata memindai semua pria dengan bentuk tubuh seperti dia?


Manusia itu lalu berdiri mengantri di belakang wanita tua yang memesan sandwich tuna. Menatap punggungnya dan berharap dia menoleh agar bisa memastikan kalau itu dia buatku ingin mati saja. Setiap detiknya benar-benar membunuh sisa sisa harapan kalau itu adalah dia, sosok yang aku ingin lihat dengan mata kepala.

"Perkeh?"

Teriak seorang wanita dalam bahasa Italia.

Sebuah teriakan yang menyadarkanku bahwa sosok itu bukan pria asing-ku. Dia yang aku temui di Jakarta tidak mungkin ada di kota Roma, itulah faktanya.

Ku tatap lamat-lamat cairan hitam di depanku yang tak lagi mengepulkan kabut. Aku lepas kacamata minusku, lalu meletakannya di atas meja.

Bodoh, sungguh bodoh. Bagaimana bisa setengah tahun ini aku hanya terpaku pada orang asing di warung kopi tenda?

"Ciaò?"

Aku terkejut melihat sosok yang baru saja menyapaku. Gelas kopi miliknya yang menggumpalkan asap putih mengaburkan pengelihatanku yang buruk atas wajahnya.

"Posso sedermi qui?"

Meski dengan mata rabun ini aku tahu bahwa ada banyak kursi lain yang kosong. Mengapa dia memilih untuk duduk di mejaku?

Tapi pertanyaan itu tak semerta membuat aku mengusirnya.

"Si può stare qui"

Aku bisa dengar dia menahan tawa ketika dia duduk di depanku.

"Ci incontriamo nella pioggia di nuovo, signorina"

Meski bahasa italiaku sungguh masih sangat buruk, kalimat yang barusan aku dengar buatku terkejut. Sialnya, dalam jarak pandang kurang dari 100 sentimeter ini aku masih saja belum bisa melihat sosok pria itu dengan jelas.

"Kau----"

"Kali ini kita terjebak hujan ibu kota Roma, nona"


_____________________
I miss Mr. Bruno who taught me Italian. 
He pretty knows that I am lame in learning this language.

Comments

Popular Posts