Monolove
Gadis yang telah melemparkan aku ke negeri asing
itu teganya melupakan aku! Aku akan buatnya mengingatku kembali! Menyulapnya
menjadi miliku. Hanya miliku!
~ Gina
Bagian 3
Lagi-lagi, aku harus berterima kasih kepada Oli. Aku bisa memesan sebuah
meja disini. Sebuah restaurant mewah di pusat kota. Dekorasi sky dinning
disini adalah yang terbaik. Gadis itu akan menyukainya. Dia menyukai udara
terbuka dan bintang di langit malam.
Dia sepertinya kebingungan memilih menu. Aku suka melihat pipinya yang
terkadang menggembung atau saat matanya bergerak menyusuri huruf-huruf yang
berbaris di buku menu. Jika dia menjadi milikku, aku bisa sering mengamatinya
seperti ini.
“Tenang saja, kau bisa memesan apa saja yang kau mau!”
Dia menatapku sebentar lalu kembali bergumul dengan daftar menu. “Aku pesan
apa yang kamu pesan!” katanya menyerah. Dia meletakkan buku menunya lalu
melihat-lihat dekorasi ruangan. Ada senyuman kecil tertahan di bibirnya. Lalu
dia menatap langit. Mungkin mencari-cari bintang yang dengan kurang ajar tidak
muncul malam ini.
Pelayan kami tiba, dia menyajikan salad. Entah apa yang dicampurkan
kedalamnya, yang pasti, salad ini terasa menyegarkan dan membuatku lapar. Menu yang
direkomendasikan Oli memang patut diacungi jempol. Menu selanjutnya adalah lamb
steak, ukurannya terlampau membuatku merasa miris karena aku menginginkan
porsi yang sangat lebih besar dari yang tersaji dihadapanku sekarang.
Gadisku menatapku lekat-lekat, badannya sedikit dicondongkan supaya bisa
berbisik padaku. Dia membisikan bahwa dia tidak tega memotong daging yang ada
di atas piringnya. Makanannya terlalu cantik untuk disantap. Aku tertawa
dibuatnya. Dan sejujurnya aku berharap bahwa itu adalah sebuah kode darinya
untuk disuapi olehku.
“Apa kau memintaku untuk menyuapimu, Anna?”
Dia melotot mendengarnya. Meski melotot dia tetap saja cantik.
Pelayan kami datang dengan sebuah troli. “Untuk dessert, aku berikan
sesuatu yang tidak ada di menu.”
Sebuah kue tart bulat disajikan di meja kami lengkap dengan pisau pemotong
dan piring kecil kosong. Pelayannya membubuhkan 8 buah lilin dan menyalakannya
dengan pematik api.
“Selamat ulang tahun Anna”
Dia hanya terbelahak tak percaya. Mungkin dalam hatinya dia bertanya-tanya
bagaimana bisa aku tahu tentang ulang tahunnya. Dan melihat ekspresinya seperti
ini, sepertinya hingga saat ini aku masih belum bisa membuatnya teringat siapa
aku.
“Kau harus segera meniup lilinnya sebelum lelehannya mengenai kue!”
Seolah tersadar dari segala pertanyaan yang berkecamuk dalam kepalanya, dia
buru-buru meniup lilin-lilin di atas kue.
“Aaaah, seharusnya aku berdoa dulu sebelum meniupnya!” katanya ketika
melihat kepulan asap tipis di depan wajahnya.
“Biarkan saja! Aku sudah berdoa untukmu tadi!” kataku cepat. Tanpa sadar
aku mencolek krim pada kuenya.
“Iiih ...!” katanya cepat sambil menyambar sendok soup yang ada
dalam jangkauannya. Dia berusaha memukulku dengan sendok soup.
“Eeeeeh, jangan lagi memukul kepalaku pakai sendok” kataku bersiaga dengan
serangannya yang bisa saja membabi buta. “Aku akan potong bagian ini untuku.
Kau boleh ambil sisanya”
“Aku tidak pernah memukul kepalamu!”
Aku tidak percaya dengan kata-katanya. Dia sepertinya masih berhasrat untuk
memukul kepalaku dengan sendok yang ada dalam genggaman tangannya. Dengan sangat
hati-hati aku memotong kue yang sudah aku colek dan memindahkannya pada piring
kecil.
“Aku dapat kue potongan pertama!”
“Aaaah, aku ingaaat! Kamu Si Brengsek yang colek kue tart aku waktu ulang
tahun ke 8 dulu!” Katanya setengah bersorak.
Si brengsek katanya? Tapi tak apa. Akhirnya dia mengingatnya.
“Kau sama sekali tidak berubah! Tetap jahil seperti waktu kecil!” katanya
riang.
“Dan aku tak menyangka kau lupakan aku begitu saja padahal aku selalu
mengingatmu sepanjang waktu!”
Dia menatapku tanpa henti, tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Jadi kamu melakukan semua ini – memainkan rambutku, mewarnai kukuku, mencuri
makananku, mencolek kueku hanya untuk membuatku kembali ingat kau yang suka
menjahili aku dulu?”
Aku mendengus tidak setuju, “Bukan Cuma itu, aku ingin kamu ingat aku
pernah berjanji akan menikahimu!”
“Tentu kau ingat kalau aku menolaknya waktu itu! Aku bilang --- “
“Kau tak mau menikah dengan anak kecil yang tidak bisa membaca dan menulis
dalam Bahasa Inggris! Aku harus sekolah dulu ke Inggris baru bisa menikahimu! Dan
inilah aku. Menyelesaikan program bachelorku di kota besar di Inggris!”
Seorang dengan setelan armani muncul di pintu masuk. Aku mengenalnya, dia
seperti signal untukku bahwa waktuku sudah hampir habis.
Aku merongoh saku yang ada di balik jasku. Mengeluarkan sebuah kotak
beludru merah dan membukanya di hadapan gadis yang selalu aku impikan.
“Dengar, mungkin ini terasa amat
cepat. Tapi aku tak punya pilihan lain karena aku tak punya banyak waktu. Aku
harus pergi ke Amerika malam ini. penerbanganku dua jam lagi. Dan sayangnya, entah
kapan aku bisa menemuimu lagi. Jadi berjanjilah padaku! Kau tidak akan
menolakku sekarang. Pikirkanlah tawaran ini. Pikirkan aku yang telah kau bentuk
hingga begini!” Aku meraih tangannya dan menyematkan cincin pada jari manisnya.
Kulihat sosok armani itu telah menemukanku. Waktuku tidak lebih dari
semenit lagi. Situasi ini membuatku frustasi.
“Aku benar-benar tak punya waktu. Bahkan untuk memenuhi janjiku untuk sepanjang
malam berduaan denganmu.”
Sosok armani menatapku tajam. Dia melangkah menuju mejaku sambil merapikan
setelannya. “
Dengarkan aku sayang, tunggu aku dan jangan pernah kau lupakan aku lagi.
Kini aku harus pergi, tapi aku berjanji akan kembali meski aku tak bisa
memberimu waktu yang pasti.”
Aku bangkit berdiri dan mendekatinya. aku raih tangannya dan aku kecup. Tak
ada lagi kata-kata yang aku bisa ucapkan untuknya. Aku harus segera pergi
bersama pria armani itu.
***
Setahun berlalu sejak perpisahan waktu itu. Aku harus menghabiskan
berjam-jam di telpon dengan sambungan internasional hanya untuk memberinya
penjelasan, pengertian, dan jawaban yang ingin dia dengarkan. Chat-chat panjang
harus aku lakukan hanya untuk membuatnya percaya bahwa aku tak pernah
sedetikpun melupakannya. Dan ketika tiba saat yang dijanjikan aku bertemu
dengannya, aku kembali dihalangi oleh pekerjaanku yang menuntut keberadaanku di
Amerika. Secara sepihak aku membatalkan pertemuan kami. Aku sempat berfikir
untuk membuatnya datang ke Amerika, tapi yang aku tahu, dia sendiri tak bisa
meninggalkan kota itu karena penelitiannya. Jadi, alih-alih mengiriminya tiket
pulang-pergi pesawat, aku mengiriminya sembilan buket bunga sebagai tanda
sembilan bulan aku bersamanya. Aku harap dia menyukai bunga-bunga itu.
Di genap setahun ini, akan ada pertemuan dua keluarga sebagai hasil dari diskusi
di telpon-telpon panjang dan chat-chat tanpa henti. Tak ada satupun pekerjaan
yang dapat mengganggu agendaku kali ini. Agendaku mempersunting satu-satunya
gadis yang pernah aku cintai.
- TAMAT -
Comments
Post a Comment
Free to speak up is still under circumstances, no violence