Monolove
Gadis yang telah melemparkan aku ke negeri asing
itu teganya melupakan aku! Aku akan buatnya mengingatku kembali! Menyulapnya
menjadi miliku. Hanya miliku!
~ Gina
Bagian 1
Aku merelakan masa liburanku hanya untuk menemuinya. Bukan menemui ibuku,
ayahku ataupun kakakku, tapi menemuinya. Tak kusangka kerinduan dan harapan
yang telah tersimpan sedari dulu itu hanya diobati oleh tatapan yang tak lebih
dari tiga detik. Dia telah melupakan aku. Tak lagi mengenaliku! Teganya dia!
Padahal dialah yang menjadi alasanku menjadi sekarang ini! Setengah mati
belajar bahasa asing, dan mati-matian menuntut ilmu di negri lain. Hanya karena
dia yang memintanya! Karena dia.
Ini hari ketiga aku mengikutinya. Menuliskan baju apa yang dipakainya, rute
bus yang dinaikinya, tempat apa saja yang dia datangi atau buku yang dibacanya.
Tapi aku masih belum bisa mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengannya. Yang
membuatku kesal adalah dia yang tak menyadariku selalu mengikutinya. Dia yang
terlalu larut tenggelam dalam buku-buku dan jadwal perkuliahan.
Hari itu langit cerah tiba-tiba saja menurunkan jutaan tetes air. Tak ada
tempat berteduh. Tapi dia ternyata membawa payung dalam tasnya. Aku tak bisa
lagi melewati satu hari kegagalan berbincang dengannya. Aku tak punya banyak
waktu untuk membuatnya kembali mengingatku sekaligus membuatnya jatuh cinta
kepadaku.
Ditengah rasa frustasi ini, tak kusangka otot-otot tubuhku memiliki respon
tersendiri. Layaknya sebuah magnet yang tertarik pada kutub yang berbeda,
kaki-kaki ini melangkah dengan cepat ke arahnya. Hingga akhirnya aku berdiri
tepat disebelahnya. Dibawah payungnya.
Ekspresi wajahnya datar. Tapi kulihat kekagetannya melalui kedua matanya
yang menatapku tajam.
“Hujan” kataku sambil tersenyum lebar. Jujur saja ini bukan ekspresi yang
aku ingin keluarkan. Seharusnya aku mengeluarkan ekspresi memelas lalu membuka
sedikit obrolan tentang cuaca misalnya. Tapi karena aku tidak dapat menutupi
kebahagian bisa sedekat ini dengannya, aku mengeluarkan ekspresi bodoh ini! Aku
mengumpat dalam hati. Bagaimana bisa ada orang yang bahagia terjebak hujan
tanpa payung?
Sudah bisa aku duga. Dia tak bergeming. Seakan tidak peduli. Tapi dia
sendiri tidak mengusirku. Membiarkan aku berjalan beriringan dengannya hingga
halte. Tak ada percakapan sepanjang perjalanan singkat kami. Hingga akhirnya
ketika kami tiba di halte, aku harus mengucapkan terima kasih. Dan aku rasa aku
masih memasang ekspresi senang saat mengatakannya.
Beberapa menit berselang. Bus yang ditunggunya tiba. Aku masih ingin
merasakan kebahagian ini lebih lama, maka aku putuskan untuk menaiki bus yang
sama. beruntungnya aku bisa duduk bersebelahan dengannya. Aku bisa menghirup
aroma tubuhnya. Kembali sedetik lebih dekat dengannya.
‘Sedikit obrolan’ yang sempat tertunda tadi harus bisa aku lakukan disini.
Maka aku sibuk mencari topik. Seseorang di bus itu menarik perhatianku. “Kau
lihat ibu-ibu gendut itu? Dia tidak hamil, hanya saja perutnya buncit dan
dikira sedang hamil” kataku sambil berbisik di telinganya.
Kurasakan bahunya menegang dan sedikit berguncang. Dia menahan tawa saat
melihat ibu-ibu yang aku maksud dengan kedua matanya.
Aku tahu dia akan menyukainya. “Aah, lihat gadis Asia itu! Cantik. Aku
melihatnya kemarin di supermarket memakai pakaian itu. Kau tahu
kebiasaan gadis Asia macam dia? Mereka jarang mandi.” Kataku kembali berbisik.
Tapi kali ini dia tak menganggapnya lucu. Alih-alih tertawa, dia malah
lebih memilih memelototi aku dengan kedua matanya. Pelototannya itu
mengingatkanku pada kebiasaannya memelototiku waktu dulu. Aaah, aku rindu
dipelototi seperti itu olehnya.
***
Aku jatuh sakit selama beberapa hari semenjak hari itu. Aku terkena flu dan
demam karena kehujanan. Tapi karena tekadku untuk bertemu dengannya sangat
kuat, hanya dengan mengkonsumsi paracetamol aku bisa kembali pulih.
Aku tahu hari ini dia pasti ada di kampus. Maka aku segera melesat pergi ke
bangunan kuno itu dan mencarinya. Aku suka sekali dengan kemampuan tubuhku
merespon keberadaannya. Sepertinya tubuhku selalu bisa tertarik menuju dirinya.
Dia sedang duduk sambil membaca di cafetaria yang sepi. Di hadapannya ada
sekotak doughnut yang menemaninya di siang itu.
Aku menghampirinya, duduk di hadapannya dan dia tidak bergeming. Menatap
lamat-lamat deretan huruf yang seperti menyihirnya. Aku mengambil sebuah doughnut
dengan krim berwarna hijau diatasnya. Baru saja aku mengigit ujungnya,
kurasakan tatapan tajam menghujam. Dia menatapku dengan ekspresi marah. Aku
bisa melihat kulit wajahnya memerah.
Tapi aku menikmati tatapan itu. Aku merindukannya. Aku rindu saat-saat
ketika dulu dia memelototiku dengan kedua mata kecilnya. Aku kembali menggigit
doughnut, kali ini dengan gigitan besar hingga aku sedikit kesulitan
mengunyahnya. Aku tahu kedua matanya terus menatap doughnut yang sedang aku
santap. Hingga ketika aku memasukan potongan terakhir kedalam mulutku,
sepertinya dia mulai tersadar.
“Siapapun kamu, sangat tidak sopan mengambil makanan orang lain tanpa
izin!”
Bentakannya mengagetkanku untuk beberapa detik. Tapi aku senang dia mau
membuka suara untukku. Sepertinya kali ini aku akan dapat membuat percakapan
yang lebih panjang dari sebelumnya.
“Aku rasa kau lupa padaku!” kataku berusaha memancing ingatannya. Tangan
kananku mulai melayang ke atas kotak doughnut lagi. Mengincar doughnut
yang sebentar lagi akan aku lumat dalam mulutku.
Tapi dia buru-buru menutup kotaknya. Menyelamatkan para doughnut. Aaah, aku
suka sekali menjailinya seperti ini. Lalu ide itu terdengar seperti ide jenius
bagiku
“Ijinkan aku mengganggumu hingga akhir bulan, setelah itu kau yang
memutuskan apa kau ingin aku terus mengganggumu atau tidak” kata-kata itu
meluncur begitu saja dari mulutku dan aku sama sekali tidak menyesalinya. Kulihat
dia sedikit mendengus kesal sambil mengelengkan kepala. Aku tahu dia tidak akan
mudah aku taklukan tapi semua ini akan semakin menyenangkan untuk dilakukan.
Dia sepertinya benar-benar kesal. Dia menjejalkan bukunya kedalam tas dan
bangkit berdiri pergi dengan sekotak doughnut yang tak pernah rela dia
bagi dengan siapapun. Rambut yang dikuncir itu bergoyang seirama dengan langkah
kakinya, menggelitiku untuk kembali berkoar-koar. Sejujurnya tubuh ini ingin
bangkit dan menarik kuncir kudanya. Tapi aku menahan diri, aku hanya bangkit
dan duduk di sudut meja. Lalu berteriak, “Kau benar-benar tak berubah dengan
kuncir kuda itu, Ana!”
Benar saja. Dia menghentikan langkahnya. Dia mungkin kaget bagaimana aku
tahu nama panggilannya.
“Oke, kau mungkin heran bagaimana aku tahu panggilan itu. Tapi yang pasti
akan aku buat kau ingat bahwa, pertama, kau yang membuatku terdampar di kota
asing ini, kedua kau tidak pernah mengingatku dan ketiga, kau bahkan tak peduli
padaku!”
Dia membalikan badan dan maju selangkah, “Jangan ngaco orang aneh! Udah
pasti kamu orang Indonesia yang ga ada hubungannya sama aku! Aku sama sekali ga
tahu-menahu kenapa kamu ada disini dan aku merasa aku ga perlu tahu juga
tentang kamu!”
Setelah itu dia kembali membalikan tubuhnya dan berjalan menjauh.
Tapi dia kembali membalikan tubuhnya. “Dan tentang tawaran konyolmu itu,
aku sama sekali tidak tertarik! Lebih baik kamu menyingkir dan urusi hidupmu
sendiri!”
Aku merindukan bentakan-bentakannya. Sungguh.
- Bagian 1 tamat -
bersambung ke Bagian 2
Comments
Post a Comment
Free to speak up is still under circumstances, no violence