Cerita Sang Rembulan



Malam ini purnama begitu angkuh dalam gelap, tak butuh teman saat malam. Bahkan anginpun bergerak segan. Seolah takut mengusik purnama di langit kelam. Sesungguhnya dia hanya sibuk menatap seseorang. Gadis yang selalu berdiri di depan cermin. Diam, tak mau diganggu. Mengunci mulutnya tak mau bicara. Menutup telinganya tak ingin mendengar.

Wajahnya pucat, matanya sembab dan bibirnya bergetar.

Dia membenci hidupnya. Membenci orang-orang yang menatapnya berbeda.

Ya, tatapan itu! Dia benci tatapan itu. Tatapan yang selalu dia terima sejak dia masih kanak-kanak. Tatapan yang membuat hatinya miris teriris, pilu hingga ke ulu.

Lalu bisik-bisik itu. Dengungan yang tanpa permisi menggetarkan gendang telinganya. Mereka pikir Dia tidak akan mendengar bisikan mereka. Bisikan yang muncul setelah melihat dirinya. Dia tahu, tak ada seorangpun yang sanggup mempertahankan pengelihatan mereka terhadap dirinya.

Malam ini, ketika tubuhnya terlalu lelah untuk berdiri, ketika kesadarannya berlari ke alam mimpi, dia dapati dirinya kembali dihujani tatapan yang paling dia benci. Dikelilingi oleh orang-orang yang menatapnya jijik. Beberapa orang mengutuki, berharap Dia tidak menularkan penyakitnya ini. Sungguh karma apa yang sedang Dia hadapi? Bahkan dalam mimpi dia disakiti dan memaksa diri untuk terbangun dengan air mata di pipi.

Esok adalah hari penting baginya. Dan Dia tahu bahwa setiap mata akan menatapnya. Tatapan itu, tatapan yang dibencinya. Akankah dia bisa bertahan menerima tatapan itu selama sepuluh menit paling penting dalam hidupnya?

***

Dia mengenakan kebaya yang dijahitkan ibunya. Hanya sebuah kain brukat berwarna pastel seharga tiga puluh lima ribu rupiah per meter. Dengan kain samping bermotif mega mendung berwarna serupa warisan dari neneknya. Rambutnya yang panjang digulung membentuk sanggul kecil, menyisakan juntaian tipis di kedua pelipisnya. Seorang ibu yang menjadi pelanggan jahit ibunya dengan senang hati memoles dirinya. Mengusapkan serbuk-serbuk berwarna dengan kuas-kuas asing ke atas kulit wajahnya.

Bayangannya bergumam ‘Cantik’. Tapi hatinya sedih saat melihat sobekan besar menganga di bibir bagian atasnya hingga menyentuh bagian hidungnya. Dia tertunduk. Tak lagi sanggup menatap bayangannya sendiri.

Seseorang mengetuk ruangan tunggunya. Seorang wanita paruh baya yang juga mengenakan kebaya masuk tanpa dipersilahkan sambil membawa sebuah tas hitam besar. Wanita itu menatap satu-satunya gadis yang diruangan itu dengan tatapan memuja. Dia meletakkan tas itu di atas meja dan membukanya. Mengeluarkan sebuah kecapi lalu menempatkannya dengan hati-hati.

Dia melangkah perlahan mendekati kecapinya. Meraba permukaan kayunya.

“Mainkanlah sepenuh hatimu! Tak perlu khawatirkan orang-orang itu. Mereka bukan datang untuk melihat permainanmu, tapi untuk mendengarkannya.”

Dia tersenyum. Sungguh, senyumnya tampak mengerikan. Tapi, kedua matanya tersenyum sangat bahagia.

***

Setelah penampilan tari Jaipong, gilirannya maju. Dia berjalan menuju pojok ruangan dimana kecapinya tengah menunggu pemiliknya datang untuk memainkannya.

Dia membungkuk hormat. Tak ada bisikan-bisikan berdengung disana. Ruangan itu sunyi senyap. Beberapa orang memalingkan pandangan setelah sedetik menyadari ada yang aneh dengan bibirnya. Sisanya adalah orang tampak berusaha biasa saja dengan terus menatapnya. Padahal dalam hati mereka memanjatkan kesyukuran pada Tuhan bahwa mereka memiliki bibir yang sempurna.

Tapi tidak ada dengungan-dengungan pengganggu itu merupakan awal yang cukup baik.

Dia mulai memetik senar kecapinya. Suaranya nyaring, memenuhi seluruh ruangan. Jari-jari lentiknya mulai bergerak lincah menghasilkan melodi yang indah. Beberapa orang menatapnya takjub. Beberapa orang menutup matanya hanya untuk dapat menghayatinya lebih dalam. Suara yang dihasilkan adalah nada-nada yang mengekspresikan kesedihan. Suara lembut namun nyaring yang dapat membuat bulu meremang.

Saat permainan kecapinya berhenti. Orang-orang bertepuk tangan takjub.

Tak ada yang menatapnya dengan tatapan jijik ataupun kasihan. Benar kata wanita itu. Mereka disini datang untuk mendengarkannya, bukan untuk melihatnya.

Lima orang yang melakukan performace di ruangan itu adalah lima orang dengan kemampuan seni tradisional yang mengagumkan. Mereka di seleksi untuk dapat tampil di salah satu acara seni tahunan di New York. Hanya ada 1 orang yang akan berangkat kesana.

Mereka semua menunggu pengumuman yang akan diumumkan satu jam lagi di ruangan dimana mereka melakukan performance. Lima belas menit berlalu dan mereka terlalu bosan untuk menunggu empat puluh lima menit lainnya.

Dia akhirnya memilih memain-mainkan kecapinya. Memetik senar dengan tempo lambat. Seorang pria penabuh kendang menghampirinya dan mengulurkan tangan. “Raka”

Dia menatap tangan yang terulur kearahnya. Dia menggigit bibir bawahnya dan menyambut uluran tangan itu. “Asa” katanya yang lebih terdengar seperti ‘Aca’

Raka tersenyum. Seorang gadis penari jaipong dan penyanyi sinden datang menghampiri. Mereka berduapun mengulurkan tangan perkenalan.

“Nurul”

“Nyai”

Semuanya berjabat tangan.

Seorang anak laki-laki paling muda pun turut menghampiri, dia turut mengulurkan tangan.

“Dimas”

“Kalian tahu lagu toxic? Britney Spears?” tanya Raka pada semua orang.

Asa memetik beberapa senar kecapinya. Membuat ketiga orang lainnya mengingat melody itu. Dimas meniup sulingnya mengiringi nada-nada yang dimainkan oleh Asa. Nyai mulai melafalkan bait-bait Toxic dengan nada khas sinden dan Nurul menggoyangkan bahunya, melenggokkan pinggulnya, mengikuti irama suara yang dihasilkan.

Raka duduk bersimpuh dekat kendangnya, memukul-mukul kulitnya, menciptakan ketukan dan hentakan. Mereka memainkan musik itu bersama-sama, penuh suka cita, penuh canda tawa. Setelah habis lagu itu, mereka mulai memainkan lagu-lagu yang lainnya. hingga tak menyadari, tiga orang yang menjadi Assessor telah berada di ruangan itu dan memperhatikan mereka yang sedang asik bersenang-senang dengan keahlian mereka masing-masing.

Mereka tersadar begitu mereka selesai memainkan sebuah lagu dan mendengarkan tepuk tangan dari sudut ruangan yang lain.

Seorang pria maju. “Kalian sepertinya cukup bersenang-senang sambil menunggu pengumuman ini. penampilan kalian semua sungguh luar biasa. Tapi hanya ada satu orang yang akan pergi ke New York. Nurul. Selamat!”

Nurul berteriak kegirangan. Empat orang sisanya bertepuk tangan dan mengucapkan selamat. Kelima remaja tanggung itu kemudian berpelukan. Permainan kolaborasi mereka yang kurang dari satu jam itu cukup membuat mereka merasa bersaudara menghilangkan aura kompetisi.

“Setelah melihat apa yang kalian lakukan untuk menghabiskan waktu, Mr. Bright Director of Traditional Fest mengajak Nurul, Nyai, Dimas dan Raka untuk ikut tampil di Festivalnya di Paris.

Keempatnya saling menatap satu sama lain. Asa kembali merasakan tantapan yang dibencinya. Tatapan dikasihani. Tapi tak ada api amarah di hatinya, bagaimana bisa api itu berkobar disana sedangkan hatinya sendiri sudah hancur menjadi serpihan debu.

Tapi Asa sudah sering berada dalam situasi ini. Dia bersikap tegar. Dengan fasih melafalkan ‘Aku tidak apa-apa’ meskipun lebih terdengar seperti sedang berkumur-kumur.

Kelimanya berjalan lunglai ke arah pintu keluar. Asa berjalan paling akhir, dia membereskan kecapinya memasukannya kedalam tas dan menjinjingnya keluar.

“Asa, kau bisa tunggu sebentar?” tanya Mr. Bright.

Asa menghentikan langkahnya, keempat orang lainnya sudah keluar, hanya ada dia, Mr. Bright dan tiga orang assessor.

“Aku minta maaf tak bisa mengajakmu untuk tampil di Paris. Kau tahu, akan sulit bagi kami jika salah satu performancer kesulitan dalam melafalkan kata.”

Asa tahu ke arah mana pembicaraan itu akan berakhir. Aku mohon Tuan, jangan anda lanjutkan.

“Dengan keterbatasanmu itu, jadi kami memutuskan ...”

Asa tak mau lagi mendengar.

***

Asa menatap bayangan dalam cermin. Dia selalu melakukannya jika dia sendirian dikamar. Menatap bayangannya sendiri yang menakutkan. Biasanya dia akan kesal sendiri melihat bayangannya itu.
Bibir sumbing itu penyebab seluruh penderitaannya selama ini. Siapa yang inginkan bibir seperti ini? Siapa yang memintanya? Dia tidak pernah, begitu pula orang tuanya.

Tapi kali ini dia menatap bayangannya tanpa ada rasa kesal sedikitpun. Dia menatap wajahnya lamat-lamat. Mengingat-ngingat bentuknya. Berharap dia tidak akan pernah lupa dengan bayangan yang selalu dia benci tapi membentuknya menjadi seorang pribadi yang mandiri.


Rembulan itu tetap menatapnya, menyaksikan semuanya. Dia bahkan akan tetap menatapnya ketika Asa di Cina untuk operasi ataupun di New York saat bersekolah Julliard nanti. Rembulan ingin tahu kelanjutan kisahnya yang memiliki kejutan-kejutan seperti misteri.
***

Saat itu, Mr. Bright menawarkan untuk operasi bibir sumbing pada Asa. Selain itu diapun menawarkan Asa untuk mengikuti test masuk Juilliard jika Asa telah sembuh dari operasinya. Tapi asa terlanjur tidak mau mendengarkan. Hingga akhirnya surat itu datang diantarkan tukang pos. Surat yang berisikan jadwal operasinya di Cina. Ibunya segera mengurus beberapa dokumen, pembuatan paspor, surat keterangan tidak mampu dan lainnya. Dia sangat bahagia, senang hati mengumumkannya pada para tentangga, ‘Asa akan operasi di Cina’. Maka, inilah dia. Menanti detik-detik keberangkatannya.

Comments

Popular Posts