Akhirnya Kau Menikah Nak
Aku kembali melirik
jam yang menggantung di tembok ruangan. Jarum-jarumnya tak lelah berputar.
Entah apa yang mereka cari. Apa dia sedang mencari angka 13 yang tak mungkin
dapat mereka temui? Sejujurnya itu merupakan pertanyaan bodoh. Kebiasaan
burukku ketika sedang menunggu, otak ini terus bekerja, meski untuk
mempertanyakan fenomena-fenomena bodoh seperti menanyakan mengapa jarum jam tak
pernah mau berhenti berputar selama dia masih memiliki tenaga. Ayah berulang
kali mengingatkanku untuk berhenti melakukan ini. Dia menyarankanku untuk
berdzikir selama aku menunggu. Itu jauh bermanfaat daripada membuat
pertanyaan-pertanyaan konyol bukan?
Sekarang ini aku
sedang berada di ruang tunggu apotik. Menunggu sang apoteker meracikan obat
untuk ayahku.
“Rohenda” teriak
seorang wanita, tak jelas pada siapa. Tapi aku tahu, itu ditujukan untukku.
Ayahku bernama Rohenda. Aku bergerak menghampiri. Wanita itu menjelaskan dengan
cepat bagaimana cara mengkonsumsi obat-obat itu. Otakku masih belum kembali
dari jarum jam tak bisa menangkap penjelasannya, namun apoteker sudah selesai
dengan kalimatnya.
“Maaf, bisa
diulangi?” tanyaku sopan. Dia sedikit merengut tidak suka. Tapi dia tetap
menjelaskannya padaku. Aku mencoba mengingat apa yang dia jelaskan. Bukan hal
yang sulit untuk mengingat jika kita sudah fokus bukan?
Ayahku tidak sakit
parah. Dia hanya mengeluh bahwa kepalanya sering pusing, tubuhnya terasa berat,
dan dadanya terasa sesak. Aku memaksanya untuk pergi menemui dokter untuk
mendapatkan perawatan. Hari Minggu ini, aku menemaninya bertemu Bias, seorang
teman sejak SMA yang telah menjadi dokter. Kami menemuinya di rumah sakit
tempatnya praktek. Dia menjelaskan bahwa ayahku tidak sakit parah. Dia hanya
kecapekan, bekerja terlalu keras di usianya yang tidak muda lagi
Ibu menyuapi ayah
sepiring bubur. Ayah terlihat begitu bahagia disuapi istrinya. “Sudah lama ayah
ingin disuapi ibu” guraunya menggoda pasangan hidupnya. Aku tertawa
mendengarnya. Adik laki-lakiku merasa risih mendengar ayahnya mulai menggombal,
sedangkan adik bungsuku dia ikut tertawa sambil merebahkan diri di kasur
samping ayah.
Tahun ini usiaku
genap 25 tahun. Adik laki-lakiku berusia 21 tahun dan adik perempuanku 17
tahun. Kebersamaan ini jaranglah terjadi
padaku. Aku sekarang menjadi seorang internal auditor sebuah perusahaan energi.
biasanya aku pulang larut malam. Tak jarang aku harus menggunakan weekend
ku untuk lembur.
“Kakak harus cepat
menikah! Lihat ayah sudah renta. Ayah ingin sekali menjadi walimu ketika akad
nikah nanti” kata ayah setelah menghabiskan makanannya.
Aku hanya memajukan
bibirku tanda tak setuju. Beliau masih ‘muda’. Okay, dia memang sudah tidak muda, tapi 58 tahun belumlah tua.
Penyakit yang beliau derita hanyalah sakit akibat kelelahan semata.
Ibu meminta kedua
adikku untuk membereskan bekas makan ayah dan menyiapkan obat yang harus beliau
makan. Sepeninggal kedua adikku, ibu turut membuka suara, “Kakak sudah menolak
pinangan 3 orang laki-laki sejauh ini. Menikahlah” Katanya sambil menggenggam
kedua tanganku. Aku terdiam. Selama ini sudah ada 3 orang laki-laki yang
mencoba menyuntingku, tak ada satupun yang aku terima. Kedua orangtuaku tahu
alasannya. Aku punya standar, begitu pemilih.
“Bulan depan
keluarga Pak Rasyid akan datang, cobalah pertimbangkan anak laki-laki mereka”
tambah ibu.
Aku hanya
menganggukkan kepala mengiyakan permohonannya.
Hanya ada satu
orang yang mengetahui lika-liku kehidupanku. Astrin. Adik Bias. Aku bersahabat
dengan kakaknya sejak SMA. Tapi aku terbiasa curhat pada adik perempuannya. Ada
perasaan takut jika curhat pada lawan jenis. Takut jika suatu hari nanti aku
akan dibingungkan oleh perasaan aneh akibat perhatian yang diberikan kepadaku.
Aku takut itu menjadi benih-benih maksiat untukku. Itulah mengapa aku lebih
memilih untuk menceritakan semua kisahku pada Astrin.
Aku menuliskan email
panjang untuk Astrin yang kali ini sedang menyelesaikan program pendidikan
medisnya di Taiwan. Astrin akan segera membalas emailku segera setelah dia
membacanya. Aku menutup layar notebook-ku. Kupijat lembut leherku yang
terasa pegal. Jam digitalku menunjukkan pukul 02.46 dini hari. Baiknya aku
solat dan meminta petunjuk-Nya sebelum aku mengistirahatkan tubuh lelah ini.
***
Hari pertemuan itu
akhirnya tiba. Kondisi ayah membaik. Dia bisa kembali berkebun, hobinya. Tak
ada persiapan spesial. Ibu hanya membeli beberapa kudapan untuk dihidangkan
nanti.
“Kakak sudah
memikirkan jawabannya?” tanya ibu.
“Iya bu. Sudah
kakak pikirkan. Tapi maafkan kakak. Mungkin kakak akan mengecewakan ayah ibu
lagi” kataku pelan.
Ibu menghentikan
kegiatannya. Ayah menatapku lembut. Mereka berdua tak menuntut sebuah
penjelasan.
Tapi aku rasanya
harus memberikan penjelasan. “Aku tahu siapa anak Pak Rasyid, Amar. Beberapa
teman menceritakan bagaimana sifat dan keseharian Amar. Sepertinya kakak tidak
siap jika harus taat kepada suami berperangai seperti Amar”
Ibu tersenyum.
Terdengar jelas desahan nafas Ayah. “Ayah dan Ibu sudah tau Amar seperti apa.
Kami mengerti keputusanmu nak.” Kata ayah pelan.
Lalu hari itupun
itikad baik keluarga Pak Rasyid ditolak.
Aku kembali
menggeluti pekerjaanku. Larut dalam pekerjaan adalah salah satu obat paling
mujarab untuk menjauhkan otakku dari mempertanyakan fenomena-fenomena dengan
cara yang bodoh. Tak terasa tujuh bulan telah berlalu semenjak pertemuan antara
kedua keluarga itu. Tak ada lagi obrolan pernikahan dalam percakapan kedua
orangtuaku. Menurut adik-adikku, aku sudah cukup terkenal sebagai ‘heart breaker’, si tukang nolak lamaran.
Julukan yang cukup menggelikan. Hal itu membuat orang berfikir beberapa kali
untuk meminangku. Aku senang karena itu artinya tak ada lagi topik ‘pernikahan’
dalam waktu dekat ini. Tapi itu menjadi masalah serius bagiku ketika aku
menerima kabar bahwa ayah meninggal akibat serangan jantung.
Ibu bilang bahwa
ayah mendapatkan serangan jantung ketika dia sedang bermain bulutangkis bersama
teman-temannya. Aku menatap sosok tak bernyawa yang terbaring di ruangan
keluarga kami. Selesai disolati, jasadnya akan dikuburkan di pemakaman
keluarga. Aku tak dapat mengantarkannya ke pembaringan terakhirnya. Aku dan
adik perempuanku menemani ibu yang tergugu lemas ditinggal pergi kekasihnya
untuk selamanya. Adik laki-laki ku, sebagai laki-laki tersisa dalam keluarga
kami berangkat bersama para pelayat.
Aku mendapatkan
telepon dari sebuah nomor asing. Ternyata Astrin meneleponku dari Taiwan.
Koneksinya sangat buruk. Suara kresek-kresek mengganggu kenyamanan percakapan
kami. Akhirnya itu menjadi percakapan yang sangat singkat. Hanya ungkapan bela
sungkawa yang Astrin sampaikan, diapun mendoakan ayah agar dapat mendapatkan
tempat terbaik di pembaringannya. “Kak, apa permohonan papah sebelum beliau pergi?”
tanya Astrin sebelum dia mengakhiri percakapan kami. Aku semakin sedih
mendengar pertanyaan itu. “Ayah ingin aku menikah” jawabku dengan uraian air
mata yang semakin deras.
Rombongan pelayat
telah kembali dari pemakaman. Kulihat sosok Bias berjalan beriringan dengan
adik laki-lakiku yang sedang berurai air mata. Adik laki-laki ku itu bukanlah
anak yang sentimental. Tapi kehilangan seorang ayah memang merupakan cobaan
terberat seumur hidupnya. Dia langsung duduk bersimpuh pada ibu. Kami serempak
menangis sesegukan. Rasanya dada ini terhimpit dua tembok besar hingga kami
sulit bernafas. Bias menatapku penuh simpati. Aku hanya melemparkan sedikit
senyuman sebagai ungkapan terimakasih. Tak mau larut dalam duka yang
berkepanjangan, sebagai laki-laki pengganti ayah, adik laki-lakiku berhenti
menangis. Dia berjalan ke arah dapur lalu mencuci mukanya di westafel. Dia kembali
menghadapi para tamu yang melayat dengan wajah sembab habis menangis.
***
Sebulan berselang.
Keluarga ini menjadi sedikit tidak seimbang. Suasana duka masih menyelimuti
kami meskipun kami berusaha untuk melanjutkan kehidupan kami secara normal. Tapi
tidak bisa. Urusan kebun dan tiga ratus ekor kambing yang biasa diurus ayah
terpaksa harus kami ambil alih agar bisa terus berjalan. Berkebun dan berternak
kambing ini yang menjadi penopang hidup keluarga kami ketika ayah mengalami PHK
dulu. Dia merintis semua ini dari nol. Berbekal uang tabungan yang tersisa, pinjaman
uang dari sanak sodara dan lain-lain dia memulai usahanya. Kami harus bisa
menjaganya, karena dengan inilah ayah terus hidup bersama kami. Aku memutuskan
untuk mengundurkan diri dari perusahaan tempatku selama ini bekerja agar bisa
fokus mengurusi usaha ayah ini. Aku menyibukkan diri dengan bekerja. Dengan ini
aku bisa sedikit mengurangi rasa sedih kehilangan seorang ayah. Tapi ternyata
bekerja terlalu keras dengan terus memupuk perasaan sedih yang berlarut-larut
ini membuatku ambruk dan terpaksa harus dirawat di rumah sakit.
“Kamu harus
berhenti tenggelam dalam kesedihan tak berujung. Sadarilah, kepergiaan ayahmu
adalah sebuah takdir Tuhan.” Teguran telak dari Bias menamparku dengan tangan tak
kasat mata. “Kamu tahu amalan apa yang pahalanya akan terus mengalir kepada ayahmu meski dia
telah tiada?” ujar Bias tanpa memperdulikan adik perempuaanku yang sedang
menyuapi aku makan.
Aku terdiam. Air
mata kembali menggenang. Sebentar lagi meluap membentuk sungai.
“Salah satunya
adalah anak yang tak berhenti mendoakan orangtuanya” katanya lembut sambil
menatap kedua mataku.
Dia telah sukes
membuat bendungan ini roboh. Aku kembali menangis. Kali ini aku tak mengerti,
apa yang sedang aku tangisi.
***
Tiga hari setelah
aku keluar dari rumah sakit, Astrin meneleponku, dari rumahnya. Dia pulang ke
Tanah Airnya setelah hampir dua tahun tidak pulang. “Kak, bagaimana kabarmu?
Aku bisa jenguk kakak akhir pekan nanti?”
Aku tersenyum
senang, “Tentu saja bisa. Kita sudah lama tidak bertemu. Kau harus banyak
bercerita tentang Taiwan padaku”.
“Papah dan mamah
juga ingin bertemu kakak. Mereka berniat untuk melamar kakak.” Kata Astrid
sedikit berhati-hati mengucapkan kata ‘melamar’.
Aku terdiam
beberapa detik, tapi akhirnya ada suara yang keluar dari mulutku sendiri tanpa
aku sadari, “Kalau begitu datanglah, bukankah sebuah itikad yang baik harus
disambut dengan baik pula.”
Aku tak percaya
mulut ini dengan lancar berkata seperti itu. Tubuhku bergetar, aku menceritakan
percakapanku dengan Astrin pada ibu. Seperti biasa ibu dengan suara lembutnya
memintaku untuk memikirkan pinangan tersebut dengan baik-baik.
***
Saat hari pertemuan
itu tiba, seperti biasa ibu menanyakan kesiapanku. “Bagaimana nak, apa kali ini
kau sudah memikirkannya masak-masak?” tanya ibu sambil menggenggam lembut
tanganku.
Aku mengangguk
mengiyakan. “Bias orang yang baik. Perangainya baik. Diapun seorang kakak yang
baik. Aku mengenalnya dengan baik, bu” Kataku pelan.
“Jika ayahmu masih
hidup, dia akan senang mendengar jawaban ini” katanya lembut.
Aku menatap kedua
matanya yang sayu. Ya, andai ayahku masih hidup, ayah mungkin akan menatapku
dengan lembut seperti biasanya dan berkata, Akhirnya kau menikah nak.
Comments
Post a Comment
Free to speak up is still under circumstances, no violence