No Television in Our Realm

Aku pernah bercerita bahwa aku senang sekali menonton film. Ada alasan mengapa aku mengetikan kata"film" dengan ukuran lebih besar, itu karena film merupakan barang langka dalam kehidupanku, itulah mengapa "film" cukup berharga bagiku.

Saat kelas 2 SD dulu, aku masuk sekolah siang. Saat itu, SD terbaik di kotaku memiliki terlalu banyak murid, sehingga beberapa kelas selalu mendapatkan giliran untuk bersekolah siang hari. Yang aku lakukan pada pagi hari adalah menonton TV. Film yang diputar pada pukul 8 hingga 12 adalah film yang bergenre telenovela. Mungkin kalian yang hobi menonton TV pada tahun '97-'98 masih ingat film telenovela picisan cerita tentang drama cinta jose maurinho - maria - marimar dkk yang penuh dengan hasrat, intrik dan konflik. Aku salah satu pengikut setia film-film ini, begitu pula teman-teman sekelasku. Sayangnya kedua orangtuaku tak pernah tahu bahwa aku mengikuti alur cerita film-film itu, sampai suatu ketika:

Aku dan teman-temanku mengerjakan PR bersama-sama di rumahku. Tentu saja kami mengerjakannya sambil mengobrol, dan kau tahu apa yang kami bahas? Film telenovela scene: perselingkuhan.
Kami tak pernah tahu apa yang "boleh" kami tonton dan yang "tidak boleh" kami tonton karena orangtua kami adalah pekerja pemerintah yang harus berangkat pagi-pagi. Tak ada yang mengawasi kami saat menonton TV di pagi hari.
Dan bayangkan saja, sekelompok anak kelas 2 SD bercakap-cakap:
"Dia kan anak haram!"
"Iya, mamanya selingkuh sama temen suaminya"
"Oooh, jadi itu alasannya papanya si cowok ga suka, karena perempuannya itu anak haram?"
"Iya, cinta mereka ga direstui"
"Kasihan"

Ibuku terkejut mendengar apa yang kami bicarakan. Dia lalu memberi tahu ayah apa yang dia dengar dari pembicaraan kami. Ayahku cukup shocked mendengarnya. Keduanya lalu sepakat, tidak ada menonton TV sebelum jam 5 sore.

Aku tak banyak protes pada saat itu. Lagi pula, aku tidak lagi masuk sekolah siang. Saat aku menginjak kelas 3, aku hanya sekolah siang 1 minggu setelah 1 minggu sekolah pagi. Aku cukup malas untuk mengikuti jalan cerita telenovela setelah absen tidak menontonya selama 1 minggu. Aku lalu mengembangkan hobi baru: Membaca.

Peraturan memonton TV semakin diperketat karena nilaiku yang kian merosot. Aku ketahuan mendapat nilai 2-4-6 pada pelajaran matematika. Pada saat itu, aku memang mengalami kesulitan dalam menghitung dengan teliti. Ayah dan Ibu memutuskan: tidak ada TV dari Senin - Sabtu. Aku menangis sepanjang malam pada saat itu. Selanjutnya yang ku ingat adalah perbaikan nilai-nilaiku dengan cepat dan peningkatan peringkatku di bidang akademis.

Tahun-tahun selanjutnya: Kami tak menonton TV sama sekali. Benda itu teronggok berdebu di atas Bufet dan kini telah dipindahkan di bagian sudut gudang kami.

Mungkin cerita seperti ini tak akan kamu temukan dimanapun. Mungkin saja hanya terjadi di rumahku.
Hingga saat ini, aku mahasiswa tingkat akhir, tak pernah menonton TV di rumahku sendiri. Aku menonton TV di tempat lain, enah itu di rumah sakit ketika menjenguk teman, di rumah teman ketika aku bermain di tempatnya, di manapun ketika televisi di sana sedang menyala. Aku tak pernah bisa menonton TV di rumah.

Sebagai alat komunikasi, penyebar informasi dan sarana rekreasi, televisi merupakan "magic box" yang bisa menyediakan semuanya all in one package. Tapi ternyata, tanpa kotak ajaib ini, aku dan keluargaku tetap hidup, kami tetap bisa mendapatkan informasi dari media lain, kami bisa mendapatkan hiburan tanpa melalui TV, kami memiliki quality-time yang lebih banyak dibandingkan pada saat boleh menonton TV dulu. Tak bisa aku elakkan keberadaan beberapa lose point dengan ketidakadaan televisi di rumah kami, tapi sejauh ini kami merasa lebih baik tanpa benda itu hidup di rumah kami.

Comments

Popular Posts