Energi Negatif Insomia

Mari ikuti pengalamanku tidak tidur lebih dari 24 jam.

Hari itu tanggal 9 November 2012,
Aku cukup sibuk mempersiapkan Kongres Nasional KOPHI 2012. Selain itu, akupun merasa tertekan dengan kenyataan bahwa aku belum membuat progres yang berarti untuk undergraduate thesis-ku. Rasanya benar-benar tertekan. Beberapa pesan masuk ke HP, dikirim oleh ibu. Beliau selalu menanyakan kabarku setiap harinya dan memastikan bahwa aku membuat perkembangan dalam penulisan skripsiku.

Satu-satunya hal yang bisa membuatku merasa terhibur adalah twitter. Ada banyak orang yang men-tweet tentang hujan yang sering sekali turun akhir-akhir ini. Mereka mengeluhkan tentang jemuran mereka yang gagal kering. Ada pula yang men-tweet tentang kemacetan dikala pulang kantor. Jakarta memang juaranya macet kelas nasional negeri ini. Yang paling unik adalah keluhan tentang banyaknya undangan pernikahan yang harus mereka datangi esok hari. Tanggal 10-11-'12 memang cukup cantik untuk merayakan momen yang indah (red: Resepsi Pernikahan). Bahkan ada yang dengan isengnya, seseorang menghitung jumlah janur kuning yang melengkung sepanjang jalan pulang kantor menuju rumahnya. Pendapatku mengenai moment yang dijadwalkan pada tanggal 10-11-12 adalah momen-momen bentuk paksaan. Aku hanya mencoba beretorika, di jaman modern semacam ini, ternyata masih banyak orang yang terpaksa menikah karena tanggal cantik, bayi-bayi terpaksa dikeluarkan dari janin hanya karena tanggal ini indah dan yang lebih lucu lagi, pasangan-pasangan memutuskan hubungan cinta mereka hanya untuk kembali di tanggal yang mereka anggap baik. Picik.

Hidup memang butuh retorika hanya agar kita dapat melihat kehidupan dari perspektif yang lain. 

Jika kembali pada jurnalku tangga 9-Nov-2012, aku akan menceritakan bahwa hidup ini keras.
tweet-tweet keluhan itu menjadi hiburan tersendiri bagiku, tapi masalah yang sangat nyata adalah kenyataan bahwa kedua orangtuaku akan menangis darah jika aku tidak dapat menyelesaikan pendidikanku tepat pada waktunya. Kenyataan yang cukup membebaniku ini membuatku tetap terjaga hingga pukul 3 pagi, ketika alarm solat malam-ku berbunyi. Aku mulai panik, aku tak pernah bisa terjaga lebih dari 24 jam seperti ini sebelumnya. Ini adalah untuk pertama kalinya.

Aku teringat dengan janjiku untuk menemani salah satu teman pergi ke resepsi pernikahan temannya di Bogor. Aku cukup tahu diri bahwa aku tidak akan bisa terjaga lebih lama dari ini, maka aku dengan berat hari membatalkan secara sepihak perjanjian tersebut. Aku lalu mandi dan mencoba untuk tidur. Hingga pukul 5, rasa kantuk itu belum juga datang. Aku merasa lebih panik sekarang. Aku sangat ketakutan bahwa aku mengalami insomia. Aku tak mau itu terjadi.

Lagi-lagi aku teringat dengan janjiku menghadiri pernikahan itu.
Aku pikir, aku sangat tidak bertanggung jawab dengan membatalkan perjanjian itu secara sepihak. Maka dengan berharap bahwa aku masih bisa bertahan hingga sore hari nanti, aku kembali mengirim pesan kepada temanku.

Yang aku sesalkan dari diriku saat itu adalah ketidak-seimbangan emosiku. Emosiku memang lebih cenderung ke arah negatif. Kamar yang berantakan, perut kosong, banyak tekanan akan memudahkan diriku untuk pasang wajah cemberut dan mood-ku menjadi buruk.

Pagi itu, temanku menjemputku satu jam lebih awal. Dan yang membuatku kesal adalah dia menungguku tepat di depan pintu kamarku.
Sejujurnya saat itu aku cukup memakai kerudungku. Tapi mendengar pintu kamarku yang diketuk, membuatku yang saat itu penuh dengan energi negatif menjadi semakin negatif. Should I really open the door or I just pretend that I am sleeping?

Melihat kondisi kamarku yang berantakan,
Koper terbuka.
Pakaian-pakaian berserakan.
Sepatu - boots - high heels bertebaran di atas lantai

Sepertinya aku lebih memilih pura-pura tidur saja.

Lalu pintu kamar kembali diketuk.

Aku kembali panik. Hatiku dengan mudah mengumpat. Otak-ku mulai memaki dan mulutku mulai bersungut.

Dengan kesal aku keluar kamar. Menemui temanku. Membentaknya.

Tentu saja temanku tak bersalah.
Dia membelikan sarapan pagi untukku. Bukan bermaksud untuk menjemputku.
Tapi aku terlalu marah dan malu. Energi negatif itu telah menyelimutiku.

Aku kembali masuk kamar, meninggalkannya sendiri.
Ku dengar langkah kakinya pergi. Meninggalkanku dengan sarapan pagi.
Rasa bersalah hinggap dalam hati. Perlahan energi negatif itu pergi.

Aku segera memasukkan sepatu kedalam tas, membawa bungkusan sarapan lalu berlari menyusulnya. Meminta maaf nya dan berterimakasih untuk sarapan paginya. 

Aku tidak mau memulai pagi hariku dengan bertengkar dengan seorang teman. 
I was really acting like a jerk.
Akhirnya aku pergi ke pernikahan itu sesuai dengan janjiku padanya.
Meskipun selama perjalanan tak suasana menjadi canggung atas apa yang telah aku lakukan pagi tadi.
Tapi setidaknya aku sudah mencoba untuk memperbaikinya. Setidaknya, setelah kejadian ini, kami tak lagi bersikap canggung. Mungkin dia telah mencoba untuk memaafkanku. Mengacuhkanku selama perjalanan telah cukup menghukumku atas kelakua bodohku pagi ini.

Selalu ada pelajaran yang didapat pada setiap cerita. Memiliki energi negatif yang menyelimuti diri memberikan hasil yang negatif pula. Selama yang diharapkan adalah hasil yang positif, maka gunakan pula energi positif.

Comments

Popular Posts