Cerita Saat Hujan

Journal 15 November 2012

Hari ini bertepatan dengan tahun baru Hijriah. Pemerintah sepertinya menyetujui untuk memberikan libur pada tanggal tersebut.
Tapi bukan berarti aku libur dari semua tugas. Beberapa hal tetap harus aku kerjakan.

Teman-temanku mengusulkan untuk survey tempat penginapan untuk acara Kongres Nasional kami.
Kami pergi mengunjungi beberapa tempat dan mendapatkan banyak reverensi penginapan yang dapat kami gunakan untuk acara akbar ini.

Tapi yang ingin aku ceritakan bukanlah suka duka kami selama pencarian pemondokan di TMII.
Sebuah potret dari tepi jalan protokol di Jakarta.

Aku sedang menunggu bus 121 jurusan Jakarta - Cikarang di halte Semanggi. Saat itu hujan mulai turun. Hujan turun cukup besar. aku menyayangkan bahwa aku mengenakan sepatu kets yang bisa kebasahan. Seharusnya aku mengenakan sandal saja.

Seorang ibu, duduk berteduh tepat di samping kananku. Dia mulai menggrutu saat air hujan mulai menggenangi tempat kami berteduh. cukup aneh memang, Pavement yang ada di sini lebih rendah daripada jalan asphalt.  dan seingatku, bagian ini memang dibuat cekung tanpa pavement. Entah apa yang dipikirkan oleh Departemen Pekerjaan Umum saat membuatnya seperti ini. Mungkin, saat dia membuat halte ini, dia mendesign nya dengan tanpa trotoar. 

Ibu itu mengeluh lebih banyak. Mulai menyalahkan Jokowi, Gubernur baru yang terpilih.
"Mana nih Jokowi" 
Aku hanya tersenyum mendengar gerutuannya. beberapa sampah plastik mulai berenang terbawa arus air yang semakin tinggi. Debit air yang menggenang semakin meningkat, aku terpaksa menjinjitkan kaki agar air tidak membasahi kanvas sepatuku.

"Waaaahhh, sampah. Bisa banjir disini" ujar ibu itu lagi.
Aku mulai tergelitik untuk mengomentari keluhannya, "Yaaahhh, sampahnya dibuang sembarangan sih, bu. Coba dibuang ke tempat sampah!"
"Bener, udah jadi kebiasaan buang sampah sembarangan.Wajar aja kalau banjir. Orang-orang yang tiap tahun kebanjiran juga anteng-anteng aja toh! Udah biasa!"
"Mereka disana bukannya anteng sama banjir bu. Mereka ga punya pilihan lain selain pasrah. Mereka pasti udah berusaha untuk bikin tempat mereka enggak kebanjiran"
"Orang-orang emang sukanya buang sampah sembarangan. Udah jadi tradisi. Jadi banjir juga jadi tradisi"

Lalu ibu itu kembali mengkritik Jokowi, "Seharusnya Jokowi bikin saluran dibawah trotoar, salurannya harus dilengkapi filter supaya bisa nyaring sampah"

Aku tidak menanggapi komentar awam ibu itu. Menurut lo di bawah kaki lo itu enggak ada saluran air apa? Filter yang lo bilang itu bakalan mangpet sama sampah dan tetep bikin banjir juga! Kuncinya kan ga buang sampah sembarangan, bukan bikin saluran pake filter!
Aku kesal dengan komentar-komentarnya yang tidak memberikan solusi.

Bus yang aku nantikan tak juga kunjung datang. Tapi ada seeorang yang menarik perhatianku.
Seorang pria. Mungkin usianya sekitar 35 - 40 tahun. Dia berjalan dengan bantuan tongkat, kaki kirinya diamputasi sebatas lutut. Dia berjalan cukup cepat (secepat yang dia bisa) untuk mengejar metro mini 640. tinggal selangkah lagi dia sampai ke pintu bus. Tapi saat itu hujan cukup lebat. Air menggenang cukup tinggi, jalanan menjadi licin. Saat tongkat penyangga tubuhnya tergelincir, seketika itu pula tubuhnya jatuh.

Terkejut, aku menyebutkan, "innalillahi" dengan spontan.

Aku ingat wajah itu wajahnya meringis menahan malu. Rasa sakit karena jatuh itu mungkin akan terasa sesampainya dia di rumah.Tapi wajanya yang memerah menahan malu atas disability yang dia miliki.

Aku bangkit dari dudukku. Tak menghiraukan sepatuku yang terendam di kubangan air. Aku berniat membantunya berdiri disaat setiap pemilik mata yang berada disana tidak mau bergerak dari tempatnya bernaung dari hujan. Laki-laki itu menatapku. Tapi tatapan matanya langsung menghentikan niatku. Dia menatapku dengan tatapan memelas, kepalamya menggeleng perlahan. Aku mendengar apa yang tak dia katakan. "Jangan kasihani aku. Aku cukup kuat untuk bangkit dari jatuh"

Tangan kirinya masih tetap menggenggam erat tongkatnya. tapi air hujan membuatnya menjadi licin. Dia berusaha keras untuk bangkit. Aku melihatnya dia sangat kesusahan. sangat sulit membuat tongkat panjangnya berdiri tegak dengan posisinya duduk di atas aspal. Tak ada benda yang dapat digunakannya untuk bertumpu.

Mataku menatap galak kernet metromini yang hanya berdiri terpaku. Saat dia menatap mataku, kuberika sinyal agar dia membantu orang yang jatuh tersebut. Dia melakukannya. membantu orang tersebut hingga masuk kedalam bus.

Dia kembali menatap mataku. Aku hanya bisa memberikan senyuman terimakasih kepadanya.

Tapi laki-laki itu terus memunggungiku. Dia hanya berdiri di dalam bus yang sudah padat penumpang. Tangan kirinya tetap mengapit tongkat penyangganya, sedangkan tangan kanannya yang bebas memegangi pegangan kursi agar dia tidak terjatuh. Celana army nya yang berwarna krem telah menyerap air karena gaya kapilaritasnya. satu sisi betisnya terlihat kotor dari tanah dan lumpur jalan raya. Sepatu olah raganya aku yakin sudah pasti basah ketika dia terjatuh tadi. 

Lalu mertro mini itu melaju menyisakan asap di hadapanku.

"Hidup itu keras" komentar ibu itu.
Aku sudah tak tertarik untuk membalas ocehannya. Aku tahu hidup itu keras. Tapi bukan untuk mengeraskan hati nurani. Hidup itu keras karena kita sedang memperjuangkan sesuatu yang berharga. Hidup itu keras karena ada tujuan yang ingin dicapai. Hidup itu keras tapi bukan untuk mematikan hati.
Hidup itu keras, oleh kerena itu harus bekerja lebih keras dan saling membantu. 

Aku tak peduli dengan hujan yang masih mengguyur bumi. Aku lebih memilih pergi dari situ dan mencari tempat berteduh lain. Meninggalkan ibu itu dengan ocehannya yang bembuatku kesal sendiri

Comments

Popular Posts