Aku Yang Cinta
Dia pikir dia siapa? Lancang sekali merengut
hatiku dan membawanya pergi ke negeri antah berantah! Lalu dengan enaknya dia
meminta aku menunggu sampai batas waktu yang tak ditentukan. Dia keterlaluan!
~gina
Bagian 3
Tempat sky dining itu indah sekali, melebihi perkiraanku. Sebuah
restoran yang namanya sulit aku lafalkan dengan benar. Ku dengar, untuk dapat
makan malam di restoran ini, seseorang harus memesan jauh-jauh hari. Kapan dia
mempersiapkannya? Apa sejak aku mengatakan āYaā atas tawarannya?
Entah apa yang harus aku pesan disini. Melihat nama menunya begitu panjang
dan rumit. Melihat harganya, oooh, rasanya aku langsung jatuh sakit. āApa kau
yakin kita akan makan malam disini? Aku tak keberatan jika kita pindah
restoran, atau sekedar makan makanan cepat sajiā aku mencondongkan badanku sedekat
mungkin padanya dan berbicara dengan super berbisik agar tak ada seorangpun
yang bisa mendengar apa yang kami bicarakan. Meskipun tak ada orang yang
berbicara Bahasa Indonesia disini, bukan berarti tak ada orang Indonesia yang
suka makan disini.
āTenang saja, kau bisa memesan apa saja yang kau mau!ā katanya sambil
tersenyum menenangkan.
Ah, ternyata dia bisa juga tersenyum seperti itu.
Aku kembali menyusuri deretan nama yang tertera dalam menu āAku pesan apa
yang kamu pesan!ā kataku menyerah pada akhirnya. Lebih berminat mengamati
dekorasi lahan terbuka itu yang ditata dengan apik. Dan aku suka sekali memandangi
langit gelap kota ini. Tak banyak bintang yang bisa aku lihat. Tipikal kota
metropolitan. Tapi aku tetap menyukainya. Hitam yang indah.
Seorang pelayan datang. Yang dia sajikan adalah salad yang sangat
segar untuk makanan pembuka. Membuatku bertanya-tanya apa nama salad ini
di menu tadi? Sepertinya tak ada kata salad dalam daftar menu.
Setelah sepuluh menit berlalu, tibalah sepotong steak domba berukuran super
mini yang dihias dengan cantik di meja kami. Aku tak tega menotongnya apalagi
memasukannya kedalam mulutku. Dia tertawa mendengar imajinasiku tentang sajian
yang ada di hadapan kami. Dia berkelakar, āApa kau memintaku untuk menyuapimu,
Anna?ā
Noooo ... Dia semakin sinting disini! Aku tak bisa memotong nya bukan berarti
memintanya untuk menyuapiku! Lebih baik segera aku habiskan makanan ini
sehingga dia tak mendapat alasan untuk mengerjaiku lagi. Aku pikir sikap
romantis dan gentleman yang dia tunjukkan tadi itu menutup semua lubang sumber
kegilaannya. Ternyata koreng itu tak dapat ditutupi bedak. Sikap manisnya tadi
sudah hilang tak berbekas terlap serbet putih di meja makan ini.
āUntuk dessert, aku berikan sesuatu yang tidak ada di menu.ā Katanya
sambil menatapku dalam. Dia kembali bersikap romantis dan gentleman.
Sebuah kue tart bulat disajikan di meja kami lengkap dengan pisau pemotong
dan piring kecil kosong. Pelayannya meletakkan 8 buah lilin dan menyalakannya
dengan pematik api berbentuk pistol.
āSelamat ulang tahun Annaā
Aku terbelahak tak percaya. Siapakah dia sebenarnya? Apa maksud dia dengan
semua ini?
āKau harus segera meniup lilinnya sebelum lelehannya mengenai kue!ā katanya
membuyarkan segala pertanyaan dalam kepalaku.
Aku langsung meniup 8 lilin itu dengan setengah sadar.
āAaaah, seharusnya aku berdoa dulu sebelum meniupnya!ā kataku saat tersadar
dengan kepulan asap tipis yang melayang ke udara. Meskipun aku tak percaya
dengan harapan yang akan terkabul sebelum meniup lilin ulang tahun, tapi
bukankah itu yang dilakukan kebanyakan orang ketika mendapatkan kue dengan
lilin di hari ulang tahun mereka?
āBiarkan saja! Aku sudah berdoa untukmu tadi!ā katanya acuh. Tangan
jahilnya mencolek krim kue lalu dia makan krim itu.
āIiih ...!ā refleks aku mengambil sendok yang ada dalam jangkauan ku dan
bersiap untuk menggetok kepalanya.
āEeeeeh, jangan lagi memukul kepalaku pakai sendok!ā katanya siaga. āAku akan
potong bagian ini untuku. Kau boleh ambil sisanya!ā
āAku tidak pernah memukul kepalamu!ā kataku cepat dengan tetap berhasrat memukul
kepalanya pakai sendok.
Dia tak peduli dengan sangkalanku. Dia terlihat kegirangan sendiri menatap
potongan kue yang ada bekas colekannya. āAku dapat kue potongan pertama!ā
katanya pelan dengan wajah bahagia.
āAaaah, aku ingaaat! Kamu Si Brengsek yang colek kue tart aku waktu ulang
tahun ke 8 dulu!ā kataku menuduh saat aku merasa bahwa semua ini seperti deja
vu bagiku. Pantas saja aku begitu tidak asing melihat senyum jahilnya.
Dia tertawa dengan mata berbinar. āAkhirnya kau mengingatnya juga!ā
āKau sama sekali tidak berubah! Tetap jahil seperti waktu kecil!ā kataku
tergelak.
āDan aku tak menyangka kau lupakan aku begitu saja padahal aku selalu
mengingatmu sepanjang waktu!ā kata-katanya terdengar nada kecewa.
Aku hanya tersenyum mendengarnya merajuk seperti itu. Menggeleng-gelengkan
kepala menyadari perubahan fisiknya dari seorang bocah dengan ingus di
hidungnya, menjadi seorang lelaki mandiri yang kutemui di negeri asing.
āJadi kamu melakukan semua ini ā memainkan rambutku, mewarnai kukuku, mencuri
makananku, mencolek kueku hanya untuk membuatku kembali ingat kau yang suka
menjahili aku dulu?ā
Dia tersenyum sambil mendengus pelan. āBukan Cuma itu, aku ingin kamu ingat
aku pernah berjanji akan menikahimu!ā
Aku mengangguk-anggukkan kepala cepat sambil menahan tawa. Aku mengingat
anak kecil ingusan yang sambil menangis bilang bahwa dia akan menikah denganku.
āTentu kau ingat kalau aku menolaknya waktu itu! Aku bilang --- ā
āKau tak mau menikah dengan anak kecil yang tidak bisa membaca dan menulis
dalam Bahasa Inggris! Aku harus sekolah dulu ke Inggris baru bisa menikahimu!ā
potongnya dengan nada serius. āDan inilah aku. Menyelesaikan program bachelorku
di kota besar di Inggris!ā tambahnya sambil menunjuk hidungnya sendiri.
Otakku seketika itu kosong. Aku mulai bisa menyusun potongan puzzle
yang berserakan.
Belum juga aku pulih dari seluruth teka-teki ini, dia menyodorkanku sebuah
kotak beludru berwarna merah. Sebuah cincin Tiffanny & Co.
bertengger indah didalamnya āAku bersungguh-sungguh untuk yang satu ini! ini
bukan sebuah janji anak kecil ataupun keisengan dariku!ā
Jantungku berdegup kencang. Apakah ini sebuah lamaran?
āDengar, mungkin ini terasa amat cepat. Tapi aku tak punya pilihan lain
karena aku tak punya banyak waktu. Aku harus pergi ke Amerika malam ini.
penerbanganku dua jam lagi. Dan sayangnya, entah kapan aku bisa menemuimu lagi.
Jadi berjanjilah padaku! Kau tidak akan menolakku sekarang. Pikirkanlah tawaran
ini. Pikirkan aku yang telah kau bentuk hingga begini!ā cerocosnya sambil
menyematkan cincin indah itu pada jari manisku.
Aku tak bisa berkata-kata. Si bodoh ini telah menguasai segalanya.
āAku benar-benar tak punya waktu. Bahkan untuk memenuhi janjiku untuk
sepanjang malam berduaan denganmu.ā Dia terlihat begitu frustasi.
āDengarkan aku sayang, tunggu aku dan jangan pernah kau lupakan aku lagi.
Kini aku harus pergi, tapi aku berjanji akan kembali meski aku tak bisa
memberimu waktu yang pasti.ā
Dia bangkit dari duduknya lalu berjalan kesampingku. Dia meraih tangan
kananku dan dia kecup punggung tanganku. Setelah itu, yang ku tahu, dia pergi
menjauh meninggalkanku dengan hati yang tak utuh.
***
Pertemuan pertama kami singkat dan aneh. Tak lazim.
Lalu setahun berlalu. Aku masih belum pernah bertemu lagi dengan si gila
itu. Hanya sebatas telepon dan berkomunikasi dengan bantuan internet tidak
termasuk dalam katagori bertemu bagiku. Jadi saat tiga bulan yang lalu dia
bilang akan datang menemuiku, aku terlalu bersemangat dan menduga-duga, apa dia
akan kembali menjahiliku? Alih-alih aku melihat tingkah konyolnya, yang
kudapati adalah sembilan pengantar bunga dengan sembilan buket dari sembilan
toko bunga yang berbeda yang bergantian menitipkan bunga-bunga itu pada
resepsionis asramaku. Bunga-bunga tanda permintaan maaf bahwa dia tak bisa
menemuiku karena mendadak dia harus berada di tempat lain. Aku sempat terharu
melihat usahanya untuk membuatku tidak sedih, tapi aku menjadi marah karena
harus ku apakan sembilan buket bunga dalam kamar asramaku yang sempit ini?
Dan di bulan ke-12 ini, dia berjanji untuk datang menemuiku dan menemui
keluargaku. Rencana-rencana yang biasa kita diskusikan dalam chat-chat panjang
itu telah menemui sebuah kesepakatan. Awas saja jika dia sampai tidak datang di
hari pertunangan itu minggu depan! Akan aku kejar menuntut pertanggungjawaban
atas separuh hatiku yang telah aku berikan.
- TAMAT -
Comments
Post a Comment
Free to speak up is still under circumstances, no violence