Potret Anak Petani 50 Tahun Lalu
Akan aku ceritakan sebuah cerita nyata yang pernah terjadi setengah abad
yang lalu. Dua orang gadis yang merupakan anak dari sepasang buruh tani. Buruh
tani tentu saja berbeda dengan petani. Buruh tani melakukan apa yang petani
lakukan, hanya saja mereka tidak memiliki sawah ataupun ladang untuk digarap.
Mereka akhirnya menggarap tanah orang lain dengan imbalan yang disepakati oleh
pemilik tanah.
Kedua gadis kecil itu memiliki masa kecil yang indah menurut versi mereka.
Karena mereka tinggal di sebuah desa di pegunungan, indah menurut mereka
berbeda dengan indah menurut versi anak-anak kota. Usia mereka berdua terpaut 4
tahun. Sang kakak, seorang gadis yang cukup bijak dibandingkan usianya.
Semenjak dia mengenyam bangku sekolah, dia membawa serta adiknya yang masih
kecil ke sekolah. Kedua orang tuanya yang buruh tani, tak dapat membawa serta
anak kecilnya ke ladang. Terlalu berbahaya. Ladang yang sedang mereka garap ada
di tengah hutan. Anak kecil bisa saja menjadi korban beberapa hewan liar
seperti ular dan kalajengking.
Sang kakak akan menuntun adiknya yang bertelanjang kaki menuju sekolah yang
letaknya cukup jauh dari rumah mereka. Mereka harus menapaki jalan yang
menanjak dan berbatu pula. Sang kakak sendiri hanya menggunakan sandal jepit
berwarna hijau kesukaannya. Itu alas kaki termewahnya yang akan dia gunakan
hanya untuk pergi sekolah dan beberapa acara penting lainnya seperti pergi mengaji
ke musholla dan saat pergi ke kota. Tak jarang dia relakan adiknya untuk mengenakan
sandal jepit miliknya. Saat adiknya mulai rewel karena kakinya kesakitan dan
tak mau melanjutkan perjalanan, dia akan menawarkan sandal jepitnya sambil
tersenyum. Hatinya telah dikeraskan, tak ada satupun yang dapat menghentikannya
dalam mengenyam bangku pendidikan.
Di kelas, sang kakak berusaha belajar sebaik mungkin. Dia hanya punya
sebuah papan berwarna hitam dan beberapa batang kapur putih. Itu alat tulis
terbaik yang dia miliki. Hadiah dari Bapak Lurah, pemilik tanah yang sedang
digarap oleh kedua orangtuanya. Tak ada catatan yang dapat dia bawa pulang
untuk kembali dibaca. Tak ada PR yang dapat dia kerjakan di rumah. Bersekolah
pada saat itu hanyalah pergi bersekolah dan menyerap apa yang dikatakan guru
disana.
Sekolah itu sendiri tidaklah seperti sekolah pada saat ini. Sekolah itu
memiliki tanah yang luas. Tapi hanya ada satu gedung dengan empat ruangan kelas
dan satu ruang guru. Tak ada pula toilet disana. Jika ingin buang air, mereka
harus pergi menuju sebuah kolam. Ada sebuah cubicle dari anyaman bambu yang
dilengkapi air mengalir disana. Tentu saja 4 ruangan kelas tak cukup untuk
sebuah Sekolah Dasar. Kelas satu dan kelas dua terpaksa berada di ruangan kelas
yang sama. Kelas tiga harus berbagi ruangan dengan kelas empat. Sedangkan kelas
lima dan kelas enam, karena mereka membutuhkan konsentrasi yang lebih besar,
mereka menempati kelas masing-masing.
Saat istirahat tiba, murid-murid yang kebanyakan adalah anak dari petani,
berhamburan ke padang rumput yang luas dekat sekolah. Bukan untuk bermain, tapi
untuk menyabit rumput disana. Ada ternak yang harus diberi makan seusai pulang
sekolah nanti. Begitu pula sang kakak, bersama teman-temannya dia dengan
gembira berlomba memenuhi keranjang mereka dengan rumput-rumput segar. Adiknya
pun turut serta. Biasanya dia akan bermain-main dengan kupu-kupu yang dimasukan
kedalam sebuah plastik bening sambil duduk dibawah pohon yang rindang. Dia
dijauhkan dari padang rumput agar tidak bermain-main dengan ulat bulu yang
banyak sekali jumlahnya disana.
Seusai pulang sekolah sang kakak akan segera pulang ke rumah, mengganti
seragamnya dan menyimpan sandal jepitnya dengan seksama. Tak ada tas yang dia
gendong saat ke sekolah, papan dan kapur tulis cukup dia simpan dalam kantung
plastik dan dia gantungkan di paku pada dinding. Dia lalu menyuapi adiknya
makan siang. Setelah itu, keduanya berjalan beriringan menuju kandang kambing
dan kerbau yang tak jauh dari rumahnya. tak lama setelah itu, keduanya bermain
bersama anak-anak sebayanya yang tinggal tak jauh dari rumahnya.
Nasib baik selalu diberikan kepada orang yang baik pula. Kedua anak
gadisnya tumbuh menjadi anak yang baik. Sang ayah merasa bahwa kedua anak
gadisnya dapat hidup lebih baik dari dirinya. Panen pertamanya sangat
memuaskan. Bapak lurah memberikan sebidang sawah sebagai hadiahnya. Tapi sang
ayah menolak hadiah itu. Dia memanfaatkan kesempatan ini agar anak-anaknya
memiliki kehidupan yang lebih baik. Dia menawarkan anak sulungnya kepada Bapak
lurah untuk dia sekolahkan di kota. Mengetahui bahwa dia bisa melanjutkan
pendidikannya di kota, sang kakak bukan kepalang senangnya. Tubuhnya yang kecil
meloncat-loncat karena bahagia.
Tak pernah Bapak Lurah itu melihat seorang anak memiliki keinginan
bersekolah seperti itu. Bahkan anak-anaknya pun tidak. Dia mengijinkan sang
kakak tinggal di salah satu kediamannya di kota. Menyekolahkannya di sekolah
terbaik disana. Anak itu berhak mendapatkan yang terbaik atas semangat yang
dimilikinya.
Sebagai rasa terimakasih, sang kakak selalu merawat rumah itu dengan baik,
menyapunya, mengepelnya, melapnya. Tak ada sedikitpun debu yang menempel di
rumah itu. Bapak Lurah selalu senang tinggal berlama-lama di rumah itu.
Nilai-nilai yang dia miliki selalu memuaskan. Tiap kali Bapak Lurah mengambil
rapor sang kakak karena beliau sebagai wali, dia merasa bangga mendengar tiap
pujian yang dilontarkan guru-guru atas anak asuhnya. Pujian-pujian itu tak
pernah dia dapatkan dari anak-anaknya. Rasanya seperti melepas dahaga padang
pasir di tengah oase. Gadis itu akan terus mendapatkan pendidikan yang layak
untuk hidupnya.
Sang kakak melanjutkan pendidikan ke satu-satunya SMA yang ada di kota itu.
Dia masih tinggal di rumah Bapak Lurah yang kini menganggapnya sebagai
seorang anak. Anak-anak Pak Lurah yang tinggal disana pun menyayanginya. Tak
merasa cemburu. Sudah sepantasnya gadis itu disayangi oleh bapaknya. Lagipula
yang selama ini menyiapkan makanan dan mencuci pakaian mereka adalah gadis itu.
Mereka malah merasa beruntung karena terbebas dari beberapa tugas rutin yang
menyebalkan.
Sekolah Menengah Atas merupakan salah satu barang mewah yang ada di kota
ini. Hanya anak-anak pejabat dan pengusaha yang menyekolahkan anaknya hingga
tingkat ini. Tak heran jika teman-teman gadis ini adalah pemilik toko di pasar,
juragan angkot, anak bupati, anak pemilik hotel atau anak pemilik percetakan
besar. Anak-anak tanpa kekurangan ekonomi macam itu kebanyakan senang
menghambur-hamburkan uang orangtuanya. Dan mereka itulah teman-teman sang kakak.
Tapi sang kakak memang telah mengeraskan hatinya. Tak ada satupun yang
dapat menghentkannya mengenyam bangku pendidikan. Meskipun dia bergaul dengan
mereka, dia sadar betul bahwa ayahnya hanyalah seorang buruh tani. Dia bahkan
ingat, sebidang sawah telah ditukarkan dengan sebuah kesempatan untuknya agar dia
bisa terus mengenyam pendidikan. Tiap kali dia mendapatkan tumpangan naik mobil
salah satu temannya, dia akan teringat kedua orang tuanya yang berjalan tanpa
alas kaki menuju ladang menempuh medan yang buruk. Hanya dengan membayangkan
kedua orangtuanya, dia membakar semangatnya sendiri untuk belajar lebih giat.
Keuletannya dalam berlajar membuahkan hasil. prestasinya di kelas sangat
baik. Salah-satu gurunya diam-diam mengirimkan aplikasi pendaftaran untuk salah
satu perguruan tinggi di ibu kota provinsi. Nasib baik memang selalu diberikan
pada orang baik. Aplikasi itu lolos. Gadis itu mendapatkan kesempatan untuk
mengenyam pendidikan lebih tinggi.
Dia mulai merasa ragu. Dia bisa saja menggapai impiannya, tapi dia tidak
mungkin mengorbankan kehidupan kedua orangtuanya di desa. Pendidikan tinggi
memerlukan biaya yang sangat tinggi. Belum lagi buku-buku yang akan dia beli
pada nantinya. Orangtuanya harus bekerja puluhan kali lipat untuk memenuhi
kebutuhannya saja. Dia tidak tega melakukan itu kepada kedua orangtuanya.
Tapi sang ayah memang menginginkan kehidupan yang lebih baik untuk
anak-anaknya. Dia membujuk anak sulungnya untuk mengambil kesempatan emas yang
ada di depan mata. Uang selalu dapat dicari. Tuhan itu Maha Memberi, kau harus
menggapai mimpi untuk mengubah kehidupanan ini, katanya yang kemudian terpatri
dalam hati sanubari.
Dengan berat hati dia pergi ke ibu kota propinsi untuk menuntut ilmu.
Memang benar biayanya sangatlah mahal. Untungnya untuk membiayai biaya
pendidikannya Bapak Lurah yang telah menganggapnya sebagai seorang anak mau
menanggungnya. Tapi untuk urusan pembelian buku dan biaya hidup, ayahnya
bersikeras untuk membiayainya sendiri. Dia ingin memeberikan kontribusi dalam
penggapaian mimpi anaknya. Satu set buku yang anaknya butuhkan bahkan seharga
kerbau hitam berusia 7 tahun. Harga yang sangat mahal untuk seorang petani
tanpa tanah garapan.
Gadis itu tinggal di sebuah kamar kontrakan kecil. Dia merawat kamar itu
sebaik mungkin karena kamar itu mungkin akan menjadi kamarnya selama dia
menuntut ilmu di kota ini. Kamar itu memendam semua rahasianya. Menyimpan semua
isak tangis tiap kali dia memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa. Tiap bulan
semasa dia menuntut ilmu di kota itu, dengan rajin dia menuliskan surat untuk
kedua orang tuanya. Meskipun dia tahu bahwa kedua orangtuanya buta huruf, tapi
pasti ada tetangganya yang dengan baik hati mau membacakannya untuk orang
tuanya. Sebenarnya yang dia takutkan adalah surat itu tidak akan pernah sampai
ke rumahnya. desa itu amat terpencil. Dia takut tukang pos merasa malas untuk
pergi mengantarkan suratnya. Tapi dia tetap saja menuliskan surat-surat itu.
Setidaknya dia telah berusaha.
Hanya ada beberapa surat balasan yang dikirimkan oleh kedua orangtuanya.
Selain mereka harus pergi ke kota dengan menerobos hutan untuk mencapai kantor
pos terdekat, terkadang surat-surat itu memang datang begitu telat. Dikirimkan
oleh tukang pos ketika tiga buah suratnya telah berdebu di gudang suratnya.
Yang paling mengharukan selama dia di ibu kota provinsi itu adalah ketika
ayahnya datang mengunjunginya. Gadis itu menunggu kedatangan ayahnya dengan
perasaan cemas. Dia tahu ini kali pertama bagi ayahnya untuk naik bus antar
provinsi. Itu kali pertama ayahnya pergi keluar kota, jarak terjauh yang dia
tempuh dengan menggunakan bus. Mungkin dia akan mabuk selama di perjalanan.
Saat bus yang dia kenal mulai berhenti dan menurunkan penumpang, dia
melihat sosok ringkih ayahnya turun. Sedikit limbung. Dia nampak lebih tua dari
terakhir kali dia melihatnya. Kulitnya lebih hitam. Dia pasti bekerja lebih
keras untuknya. Kernet menurunkan dua buah karung berwarna putih miliknya.
Gadis itu tanpa ba-bi-bu lagi langsung menyalami tangannya yang kasar dan kaku.
Ayahnya dengan canggung membiarkan anaknya mencium punggung tangannya. Dia lalu
mengambil sebilah tongkat yang dia bawa serta untuk memikul kedua karung
bawaannya untuk anak sulungnya. Dengan bangga gadis itu berjalan beriringan
dengan ayahnya. Tak menghiraukan beberapa orang yang mencuri-curi pandang
melihat mereka berdua.
Pada kesempatan ini aku hanya menceritakan ringkasan dari perjalanan hidup
sang kakak. Cukup panjang jika aku ceritakan semuanya. Singkat cerita, gadis
itu akhirnya tetap bergulat di dunia impiannya, dunia pendidikan. Setelah dia
lulus, dia menjadi seorang pengajar di kota kecilnya. Ayahnya kini memiliki
sebidang tanah untuk digarap. Hasil dari tiga bulan gaji anak sulungnya. Impian
ayahnya pun terwujud, dia ingin adanya perubahan dalam hidup. Dia tak lagi
menjadi buruh tani, dia telah menjadi seorang petani. Anaknya tak terkungkung
dalam dunia kecil pertanian desa mereka, tapi menjadi seorang pengajar yang
akan mencerdaskan penerus bangsa negara ini. Ini adalah sebuah kisah yang
menginspirasiku untuk selalu memberikan yang terbaik pada kedua orangtuaku yang
selalu memberikan yang terbaik miliknya untukku. Setiap tetes keringat mereka
adalah setiap sen yang menopang kehidupanku hingga kini. Layaknya gadis itu,
aku mencoba memanfaatkan semua kesempatan yang diberikan untukku, demi hidupku,
demi kebahagian orang tuaku.
Comments
Post a Comment
Free to speak up is still under circumstances, no violence